PolitisasiKonstitusi Piutang Negara DI Indonesia. by Agus Pandoman. Download Free PDF Download PDF Download Free PDF View PDF. Metode dan Konsep Restrukturisasi Sebagai Pelaksanaan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Terhadap Perusahaan Publik dan Non Publik.
- Konstitusi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi setiap bangsa dan negara. Baik bagi negara yang sudah lama merdeka, maupun negara yang baru saja memperoleh kemerdekaannya. Konstitusi adalah sekumpulan aturan dasar yang mengatur fungsi serta struktur lembaga pemerintah. Konstitusi juga menjadi dasar hubungan antara negara dan rakyatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi merupakan pencerminan kehidupan politik di dalam masyarakat. Konstitusi dapat menjamin hak-hak warga negaranya dari tindakan sewenang-wenang dari pemegang umum, konstitusi terbagi menjadi dua yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi Tertulis Konstitusi tertulis adalah aturan-aturan pokok dasar negara, bangunan negara, dan tata negara. Konstitusi tertulis lebih tegas dibandingkan konstitusi tidak tertulis karena konstitusi tertulis menjamin adanya kepastian hukum. Konstitusi tertulis dapat diidentifikasi dari ciri-cirinya. Ciri-ciri konstitusi tertulis adalah Memuat tentang organisasi negara. Menjamin hak-hak asasi manusia. Terdapat prosedur perubahan undang-undang dasar. Memuat larangan utuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar. Memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara. Konstitusi tertulis dicantumkan dalam dokumen tertulis. Perubahan atau amandemen dari konstitusi tertulis dilaksanakan melalui tahap-tahap yang ditentukan melalui kebijakan publik. Contoh konstitusi tertulis di Indonesia adalah Undang-Undang dasar atau UUD 1945. Baca juga Pengertian Konvensi dan ContohnyaKonstitusi Tidak Tertulis Suatu konstitusi disebut tidak tertulis jika ketentuan-ketentuan yang mengatur tata negara tidak dalam bentuk naskah tertentu, tetapi melalui konvensi atau pemufakatan. Oleh karena itu, konstitusi tidak tertulis sering disebut juga konvensi. Konvensi tidak tertulis biasanya merupakan kebiasaan ketatanegaraan yang serng timbul dalam masyarakatnya. Konstitusi tidak tertulis berbentuk kesepakatan bersama di tengah masyarakat dengan dasar kebiasaan tersebut. Sebagai suatu peraturan yang tidak tertulis, sulit bagi konstitusi tidak tertulis mempertahankan kekuataannya tanpa dukungan dari rakyat dan negara. Sehingga, kewibaannya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan konstitusi tertulis. Apabila terjadi pelanggaran atas konstitusi tidak tertulis, hakim konstitusi menggunakan yurisprudensi sebagai dasar putusannya. Yurisprudensi adalah segala keputusan dari hakim terdahulu untuk mengadili suatu perkara yang diatur dalam undang-undang. Kemudian keputusan terdahulu tersebut dijadikan pedoman oleh hakim lain untuk menyelesaikan perkara yang sama. Contoh konstitusi tidak tertulis atau konvensi dalam ketatanegaraan Indonesia adalah pidato kenegaraan presiden setiap tanggal 16 Agustus dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat juga termasuk konstitusi tidak tertulis. Referensi Budiardjo, Miriam. 2003. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta Gramedia Pustaka Utama Busroh, Firman Freddy dan Fatria Khairo. 2018. Memahami Hukum Konstitusi Indonesia. Depok PT Raja Grafindo Persada Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
ProsidingKonferensi Dan Dialog Negara Hukum : Negara Hukum Indonesia Ke Mana Akan Melangkah

Salah satu ciri umum konstitusi yaitu adanya pembatasan kekuasaan bagi para Negara biasa mentri Tolong segera dijawab ya, buat besok JawabanA. penjabat negaraPenjelasanmaaf kalau salah semoga bermanfaat Penjelasana. Penjabat negaramaaf kalo salah

Salahsatu ciri umum konstitusi yaitu adanya pembatasan kekuasaan bagi para - 27137929. abdurrahman5593 abdurrahman5593 01.03.2020 PPKn Sekolah Menengah Pertama terjawab Salah satu ciri umum konstitusi yaitu adanya pembatasan kekuasaan bagi para a.Penjabat Negara b.Pengusaha c.Penguasa Jelaskan upaya pemerintah mewujudkan nilai nilai Pendahuluan Saat ini di dunia, semua organisasi baik sosial maupun organisasi politik terutama Negara, dibentuk dengan satu landasan yang merupakan konsensus diantara pendirinya, yang secara umum dinamakan konstitusi. Organisasi sosial maupun poitik mengenal anggaran dasar. Demikian juga organisasi bisnis, mengenal pula anggaran dasar. Dalam ketentuan anggaran dasar itu, ditentukan apa yang menjadi tujuan dibentuknya organisasi, serta siapa yang menjalankan roda organisasi untuk mencapai tujuan, serta organ‐organ apa yang diperlukan untuk itu. Semua ini ditetapkan dalam anggaran dasar tersebut, dengan membentuk organ‐organ atau lembaga yang dibutuhkan seraya memberi kekuasaan atau mandate pada organ tersebut, serta bagaimana hubungan organ tersebut satu sama lain. Tentu merupakan hal yang penting juga diatur adalah hubungan organisasi dengan badan‐badan kelengkannya dengan anggota, yang menyangkut hak‐hak dan kewajiban yang tegas didalamnya. Konstitusi negarapun pada dasarnya memuat ketentuan yang demikian. Setiap organisasi memerlukan konstitusinya masing‐masing, untuk mengatur hubungan diantara organ‐organnya, dan hak serta kewajiban orang yang menjalankan organisasi serta hubungan organisasi dengan anggota. Organisasi‐organisasi politik, kemasyarakatan, organisasi internasional ataupun keperdataan, dibentuk dengan satu anggaran dasar atau dokumen dasar, yang dapat disebut sebagai konstitusinya. Pengertian Konstitusi Konstitusi ini dapat dirumuskan sebagai dokumen yang memuat ketentuan‐ ketentuan tentang bekerjanya satu organisasi. Negara umumnya selalu didasarkan pada satu konstitusi atau Undang‐Undang Dasar, meski beberapa Negara seperti Inggeris, Israel dan New Zealand? secara formal dan tertulis tidak memilikinya. Meskipun demikian kita dapat merujuk kepada Inggris yang memiliki tradisi konstitusi yang kuat meskipun tidak memiliki secara khusus dan tertulis konstitusi tersebut, yang melihat konstitusi tersebut sebagai “satu bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan‐kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan organ‐organ Negara, dan mengatur hubungan satu sama lain dan organ Negara dengan warganegara.”1 Dalam sejarah klasik, dikenal beberapa perkataan yang merujuk kepada pemahaman kita tentang konstitusi sekarang, yaitu politea dari bahasa Yunani kuno dan constitution dalam bahasa Latin, yang terkait dengan perkataan jus. Politea merupakan yang tertua. 2 Orang Yunani memandang ada pengertian analogis antara organisasi Negara dengan susunan organism manusia secara mengira bahwa hubungan antara dua elemen yaitu tubuh dan pikiran mempunyai kesamaan dengan dua unsure Negara yaitu yang memerintah dan yang diperintah. Bahasa Yunani kuno tidak menggunakan istilah yang mencerminkan pengertian jus atau constitution dalam tradisi Romawi. Constitutio, dalam bentuk Latin tersebut mula‐mula digunakan sebagai istilah teknis untuk merujuk pada tindakan legislative dari Kaisar. Dalam gereja istilah tersebut juga digunakan untuk menunjuk kepada peraturan gereja. Dalam sejarah dari hukum kanonik tersebutlah kemudian yang menjadi sumber awal kata constitution. Tapi kosa kota konstitusi seperti yang digunakan sekarang, lebih melihat secara etimologis pada kosa kata Perancis constituer, yang artinya membentuk, yaitu membentuk Negara. Karenanya secara teoritis dianggap bahwa konstitusi lebih dahulu ada dari Negara, meskipun dalam kenyataan tidak selalu demikian. Aristoteles sudah melakukan pembedaan antara pengertian politea dan nomoi dimana politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi karena memiliki kekuasaan membentuk dan karenanya disejajarkan dengan pengertian konstitusi sedang nomoi sejajar dengan pengertian undang‐undang biasa sekarang ini, karena dia merupakan materi yang harus dibentuk. Di Inggeris, penggunaan kata constitution mengandung pengertian peraturan yang masih digunakan dalam pengertian gerejani, yang dalam perkembangan kemudian Magna Charta disebut merupakan constitution yang membebaskan. Para pemikir Yunani, belum memisahkan sama sekali antara konsep Negara state dan masyarakat society, dan antara civil dan social. Hukum menjadi salah satu aspek dalam pembicaraan tentang Negara polity, dan sama sekali belum membayangkan hukum sebagai satu pengertian yang berada diluar Negara polity, atau sesuatu yang terpisah dari Negara, di mana Negara harus tunduk pada peraturan yang dibentuknya sendiri. Konstitusi dalam pembicaraan kita tentu saja terbatas pada konstitusi Negara, yang merupakan kesatuan politik dari penduduk. Konstitusi dapat dipandang memuat sebagai segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan Undang‐ Undang Dasar dan lain‐lainnya. Dalam arti demikian dikatakan bahwa konstitusi merupakan satu sistem norma yang tertutup a closed system of norms, yang merujuk pada kondisi menyeluruh pada kesatuan dan tertib politik complete condition of political unity and order. Definisi teksbook biasanya mengartikan konstitusi sebagai norma fundamental atau hokum dasar. 3 Namun memandang konstitusi hanya sebatas aturan hokum yang memuat ketentuan tentang organisiasi dan kekuasaan Negara, secara empiris dan historis tidak benar. Pada dasarnya pembentukan konstitusi melalui proses kesepakatan consensus yang tidak mudah. Kesepakatan yang mengikat tersebut dibentuk melalui tukar menukar pendapat yang memperhitungkan seluruh kepentingan yang terlibat yang dapat tertampung sebagai dasar dan tujuan yang hendak dituju. Oleh karena kesepakatan menjadi dasar dan hasilnya mengikat semua pihak, sering juga dikatakan bahwa konstitusi tersebut merupakan satu kontrak, yang mengikat semua pihak. Materi Muatan Konstitusi. Menjawab pertanyaan tentang apa yang harus dimuat oleh sebuah konstitusi, Wheare menyatakan bahwa sebuah konstitusi, pertama‐tama merupakan dokumen hukum dan dimaksudkan untuk menyatakan hukum yang paling tinggi supreme. Konstitusi harus membatasi diri hanya menyatakan aturan hukum, dan bukan pendapat, aspirasi, petunjuk dan kebijakan. Sebaliknya konstitusi modern memuat deklarasi hak‐hak warga atau tujuan‐tujuan politik atau tujuan pemerintah, yang tidak direduksi menjadi aturan‐aturan hukum. 4 Keberadaan sebuah konstitusi secara luas dilihat sebagai sebuah syarat yang perlu bagi demokrasi dan rule of law. Negara‐negara yang bergerak dari kolonialisme menjadi merdeka atau dari negara dengan pemerintahan absolut menjadi pemerintahan demokrasi, selalu disertai dengan satu upacara peresmian sebuah konstitusi tertulis secara formal. Konstitusi karenanya merupakan pernyataan dasar dari sekelompok penduduk bersama‐sama sebagai warga dari satu bangsa tertentu dan dipandang sebagai aturan dasar tentang norma dan nilai yang dimiliki bersama serta mereka setuju mengikatkan diri. 5 Undang‐Undang Dasar merupakan konstitusi sebagai satu naskah yang tertulis. Karena sifatnya yang tertulis, maka peran hukum yang tidak tertulis menjadi sangat penting dalam memberi makna dan arti terhadap teks tertentu dalam UUD tersebut yang kemungkinan membutuhkan pemahaman karena perjalanan waktu yang panjang saat UUD tersebut dirumuskan dan dituliskan dengan konteks saat norma dalam UUD tersebut diterapkan dalam kasus‐kasus yang dihadapi. Penafsiran dengan bantuan nilai, prinsip dan pandangan hidup yang ada dalam dasar Negara sebagai staatsfundamentalnorm akan memungkinkan UUD tertulis demikian mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang terjadi dalamkehidupan masyarakat yang kadang‐kadang amat radikal. Sifat konstitusi yang bukan hanya menjadi dokumen juridis, terlihat karena dia juga memuat cita‐cita, tujuan dan pernyataan lahirnya satu bangsa dan Negara, dengan pemikiran atau landasan filosofis, yang menjadi dasar pikiran dibentuknya Negara yang disepakati tersebut tampak dengan jelas dalam UUD 1945. UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan di masa lalu terdapat satu Penjelasan, memuat bukan hanya norma‐norma yang menjadi landasan pembentukan norma dibawahnya sebagai satu dokumen juridis, tetapi juga memuat landasan kebijakan dibidang ekonomi, social dan politik sebagai satu cita‐cita dan arah perjuangan kedepan yang membentuk satu tertib konstitusi. Kesemuanya itu dirangkum pula dalam satu sistem nilai yang tergambar pada dasar Negara yang membentuk rechtsidee, dengan mana ukuran semua kebijakan yang diambil tidak saja dinilai dari segi keadilan, tetapi juga dari segi kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, KeTuhanan Yang Maha Esa, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, sebagaimana termuat dalam Pancasila. Pembukaan yang meletakkan tujuan bernegara dan dasar Negara, sesungguhnya membentuk satu sistem nilai dasar, yang harus tergambar dalam seluruh kebijakan yang dijabarkan, perilaku dan tindakan penyelenggara Negara. Dengan perkataan lain, konstitusi juga membentuk moralitas konstitusi dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara yang membentuk nurani bangsa. Beberapa Prinsip Dalam Konstitusi. Materi muatan konstitusi seperti yang diuraikan secara sepintas diatas akan menekankan 3 tiga hal yang menyangkut i tujuan dibentuknya negara dan dasar filosofi; II pembentukan lembaga‐lembaga sebagai organisasi kekuasaan, iii hubungan satu cabang kekuasaan dengan cabang kekuasaan lain dan iv hubungan negara dengan warga negara. Dari materi muatan konstitusi tersebut kita akan menemukan prinsip‐prinsip yang menjadi pokok pikiran dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Dan Pasal 1 ayat 3 Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang‐Undang Dasar. Itu menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Demokrasi yang berdasarkan koonstitusi. Dengan cara yang ringkas kedua ayat Undang‐Undang Dasar tersebut menyatakan Indonesia adalah Negara yang berdasarkan democratische rechtsstaat dan constitutional democracy. Pernyataan itu tampak sangat sederhana. Tetapi apa yang tampak sederhana sesungguhnya mengandung konsepsi dan pemikiran yang selama berabad‐abad direnungkan dan mengalami perkembangan. Diawali di Yunani sejak abad sebelum masehi, sampai juga saat ini merambat keseluruh dunia, terutama Negara yang baru merdeka atau melepaskan diri dari sistim otoriter, konsep Negara hukum tetap menjadi satu pemikiran yang berkembang dengan dinamis. Hampir semua juga Negara sekarang menyatakan dalam konstitusinya bahwa Negara itu merupakan Negara hukum. Namun harus diingat bahwa pernyataan demikian tidaklah cukup. Ada syarat‐syarat dan ukuran‐ukuran yang harus dipenuhi untuk dapat disebut sebagai satu Negara hukum, lengkap dengan jaminan dan mekanisme untuk mempertahankan yang apa disebut hukum tersebut. Negara Hukum Istilah negara hukum atau Rechtsstaat, yang diadopsi dalam UUD 1945 sebelum perubahan, menurut Petra Stockman, sesungguhnya berasal dari konsepsi yang dikenal di Jerman. 6 Di dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan yang merupakan hasil pemikiran Soepomo, dikemukakan mengenai konsep negara hukum. Penjelasan tersebut menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum Rechtsstaat dan bukan berdasarkan atas kekuasaan Machtstaat. Bukan hanya karena banyaknya kata yang digunakan untuk menjelaskan konsepsi negara yang dianut menggunakan kata‐kata dalam bahasa Jerman, tetapi juga konsepsi negara integralistik yang diutarakan Supomo mengacu kepada konsepsi yang dikenal di Jerman saat itu. 7 Konsepsi Negara Hukum Indonesia yang dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, kemudian dirumuskan secara normatif dalam Pasal 1 ayat 3 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD 1945, ketika dalam proses perubahan UUD 1945 disepakati bahwa penjelasan tersebut ditiadakan. Pasal tersebut merupakan bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945 di tahun 2001. Konsepsi negara hukum, berkembang dalam sistem ketatanegaraan modern di Eropa Kontinental. Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte merupakan para pemikir awal di Eropa yang mengkampanyekan konsepsi Rechtsstaat tersebut, yang kemudian berkembang secara luas sampai dengan saat ini. Aristoteles berpendapat bahwa negara hukum itu adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya dan peraturan hukum yang sebenarnya, hanya ada jika peraturan itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warganya. Yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa hanya merupakan pemegang hukum dan keseimbangan saja. 8 Dalam perkembangan gagasan negara hukum, peristilahan yang digunakan semakin beragam. Dalam tradisi common law atau Anglo Saxon, istilah negara hukum disebut dengan rule of law. 9 Terdapat pula kalangan yang berpendapat bahwa istilah rule of law berasal dari pemikiran politik dan hukum yang berbeda dari konsep rechtsstaat yang dirujuk oleh konstitusi Indonesia. Salah satunya dikemukakan oleh Wolfgang Friedman yang menyatakan bahwa gagasan negara hukum tidak selalu identik dengan rule of law. Oleh karena itu penyamarataan demikian tidak dapat dibenarkan. Konsep rechtsstaat yang berasal dari Eropa tidak mengharuskan satu sistem demokrasi, karena sistim politik dan organisasi hukumnya dapat dikonseptualisasikan sebagai entitas yang terpisah dari hukum. 10 Istilah rechsstaat itu mengandung makna adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Dalam rapat Badan Persiapan Usaha‐Usaha Kemerdekaan BPUPK, Sukarno menyebutkan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang berbeda dengan pilihan demokrasi Barat. Presiden pertama tersebut menyebut bahwa prinsip demokrasi Indonesia mengandung semangat sociale rechtvaardigheid keadilan sosial yang tidak dimiliki oleh Barat. 11 Perspektif Soekarno itu menjadi salah satu pijakan yang membuat beberapa kalangan membedakan demokrasi di Indonesia dan di negara lain. Perbedaan dimaksud meliputi juga konsep negara hukum rechtsstaat yang memiliki semangat demokrasi berkeadilan sosial dengan konsep negara hukum yang tidak mengharuskan dimilikinya semangat demokrasi. Stockman juga menjumpai bahwa konseptualisasi gagasan rechtsstaat dan prinsip rule of law yang dicapai dalam berbagai konferensi Internasional Commission of Jurist ICJ tahun 1950‐an dan 1960‐an, ternyata dapat dibenarkan untuk bekerja atas dasar satu konsep rule of law dan menghubungkannya dengan konsep rechtsstaat yang dikodifikasikan dalam konstitusi. Konsep rule of law dari ICJ mencakup definisi demokrasi yang didasarkan pada prinsip‐prinsip hak asasi manusia. Jika dilihat secara dekat, kebanyakan asas‐asas dalam konsep rule of law dapat diperinci dalam hak‐hak dan prinsip‐prinsip yang dimuat dalam instrumen‐instrumen internasional hak asasi manusia HAM. 12 Jimly Asshiddiqie tidak membedakan penggunaan peristilahan negara hukum tersebut. Menurut Jimly istilah rechtsstaat dan rule of law hanyalah perbedaan semantik kultural. Rechtsstaat berasal dari suku kata bahasa Jerman sedangkan the rule of law tumbuh dalam peradaban hukum di Inggris. Peristilahan Rechtsstaat kemudian berkembang pesat di negara‐negara penganut sistem Eropa Kontinental, sedangkan the rule of law yang dikembangkan Inggris melalui sistem Anglo Saxon mempengaruhi Amerika dan negara‐negara jajahannya. Dalam perkembangan konsep the rule of law di Anglo Amerika, pemikiran AV. Dicey memiliki pengaruh yang besar. Penyusun konstitusi di Amerika tidak terlepas dari pengaruh pandangan Dicey mengenai konsep the rule of law. Dalam sejarah juga tampak bahwa koloni‐koloni Inggris mengikuti prinsip supremasi Hukum Inggeris dan supremasi Parlemen Inggris, sehingga hukum di koloni‐koloni Inggeris tersebut harus batal jikalau bertentangan dengan hukum Kerajaan Inggeris. 13 Rule of law dapat dibedakan antara rule of law dalam arti formil dan materil. Dalam arti formil, rule of law tidak lain artinya hanya sebagai organized public power atau kekuasaan umum yang terorganisir. Dalam arti seperti ini, menyebabkan setiap organisasi hukum termasuk negara mempunyai rule of law, sehingga any system of norms based on a hierarchy of orders, even the organized mass murderers of the Nazi regime, qualify as law. 14 Sedangkan rule of law dalam arti materil menyangkut ukuran‐ukuran tentang hukum yang baik dan buruk serta adil dan tidak adil just and unjust law. Ketika disinggung soal keadilan dalam kaitan dengan rule of law, maka tidak mungkin dapat dicapai suatu rumusan tentang rule of law yang berlaku secara universal. Keadilan merupakan satu pengertian yang relatif sehingga tidak dapat dirumuskan dalam isi rule of law yang dapat berlaku secara sama bagi negara demokrasi, fasis, komunis dan sosialis, kecuali dirumuskan sesuai dengan kenyataan masyarakat masa kini. Tiap negara dan bangsa memiliki sistim hukum yang sesuai dengan perkembangan sejarah dan keadaan sosial‐ekonomis masing‐masing masyarakatnya.15 Negara hukum membutuhkan suatu habitat kultural tertentu, dan hanya dalam habitat itulah sebuah negara hukum dapat muncul. Negara hukum itu harus berakar pada suatu komunitas sosial kultural tertentu.16 Dengan mengutip pendapat Stephen Vago, Satjipto Rahardjo juga menekankan pentingnya pandangan tersebut di atas. Dikatakan bahwa “Every legal system stand in close relationship to the ideas, aims and purposes of society. Law reflects the intelectual, social, economic, and political climate of its time.17 Namun ada tidaknya rule of law dalam arti materiil dalam satu negara tidak hanya ditentukan dimiliki tidaknya satu sistem peradilan yang sempurna di atas kertas, tetapi tergantung pada kenyataan apakah rakyatnya benar‐benar dapat menikmati keadilan dalam arti perlakuan yang adil, baik dari sesama warga negara maupun dari pemerintahnya. Penegakan rule of law kalau tidak diartikan sebagai the rule of just law yang kini diartikan sebagai the rule of social justice, maka penegakan rule of law tersebut dapat melahirkan negara kekuasaan, bahkan dapat merupakan alat bagi penguasa untuk memperbesar dan mempertahankan kekuasaan terhadap rakyat sebagai law of the ruler.18 Brian Tamanaha menguraikan bahwa pada akhir abad ke‐19 sembilan belas yang berlanjut sampai dengan akhir abad ke‐20 dua puluh, teoritisi telah memberikan peringatan tentang kemerosotan rule of law. Hal itu merupakan satu paradoks, karena ketika rule of law sedang mengalami popularitas yang tidak bertara, secara bersamaan rule of law sedang dalam proses kemerosotan. Hal ini berkaitan erat dengan persaingan antara ideologi liberalisme dengan sosialisme yang berlangsung selama 150 seratus limapuluh tahun. Dua faktor yang menyumbang terhadap keadaan itu yaitu, pertama, besarnya pekerja miskin yang tidak dapat jaminan, tetapi bekerja keras dengan jam kerja yang panjang dalam kondisi yang menyedihkan dan mengalami kesehatan yang buruk, kelelahan, dan tempat tinggal yang sesak. Kedua, perluasan orang yang boleh memilih. Praktik sesungguhnya demokrasi di Eropa hanya memberi hak untuk memilih kaum elit. Dalam perkembangannya, teori politik liberal terutama gagasan persamaan individu yang dibangunnya, memberi jalan bagi perluasan hak pilih secara perlahan, sampai akhirnya perempuan pun boleh turut serta. Liberalisme klasik kemudian memberi jalan kepada konsepsi negara kesejahteraan sosial. Ini yang dipandang kaum liberalis sebagai kemerosotan rule of law dalam arti formal, karena mereka menolak upaya untuk mencapai persamaan substantif dan keadilan distributif.19 Kapitalisme dan liberalisme diserang oleh banyak pihak dan rule of law juga dikritik keras karena melayani sitem politik dan ekonomi tersebut. Pemahaman tentang rule of law dalam arti materil yang melihat tugas hukum juga harus melayani keadilan substantif dan keadilan distributif, mendorong perlunya campur tangan kekuasaan publik untuk mencegah kemerosotan lebih jauh dalam kualitas hidup anggota masyarakat, melalui konsepsi welfare state.20 Satjipto telah menuliskan pandangannya bahwa negara hukum Indonesia tidak dilihat sebagai bangunan yang final, melainkan secara terus menerus dibangun untuk menjadi Indonesia tersebut. Uraian pandangan‐pandangan yang diutarakan membantu untuk menemukan suatu identitas bagi negara hukum Indonesia. Diperlukan suatu platform Indonesia yang mengikat seluruh bangsa yaitu UUD 1945, yang dibaca secara bermakna moral reading untuk menemukan moralitas di belakang konstitusi yang tertulis.21 Dicey mempercayai harus terdapat ciri‐ciri penting dalam sebuah negara hukum. Berbeda dengan Immanuel Kant yang berpendapat bahwa sebuah negara hukum harus mengacu kepada semangat keadilan. Selagi sebuah negara memiliki ciri‐ciri keadilan tersebut maka negara itu dapat digolongkan sebagai negara hukum. Itu sebabnya negara hukum dari sudut Kant disebut sebagai rechtsstaat dalam arti sempit.22 Namun dengan mengurai ciri‐ciri penting sebuah negara hukum, Dicey mengemukakan tiga ciri penting negara hukum tersebut, yaitu; a. supremacy of law supremasi hukum; b. equality before the law persamaan dihadapan hukum; dan c. due process of law berdasar kepada proses hukum yang menjamin HAM.23 Konsep tersebut kemudian diperbaiki oleh Friedriech Julius Stahl. Menurut Stahl sebuah rechtsstaat itu harus memuat atau menjamin adanya; i pengakuan atas hak‐hak asasi manusia; ii pemisahan kekuasaan scheiding van machten; iii pemerintahan berdasar atas undang‐undang wetmatigheid van het bestuur dan; iv peradilan administrasi administratieve rechtspraak.24 “The International Commission of Jurist” mengemukakan pula prinsip‐ prinsip negara hukum. Komisi yang berisi para ahli hukum ini mengemukakan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak independence and impartiality of the judiciary merupakan sebuah prinsip dari negara hukum yang sangat penting. Terdapat 3 tiga prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum yang harus ada dalam sebuah negara berkonsep rechtsstaat atau rule of law, yaitu 1. Negara harus tunduk pada hukum; 2. Pemerintah menghormati hak‐hak individu; dan 3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Dalam Konferensi para ahli hukum se‐Pasifik dan Asia Tenggara di Bangkok pada 1965 dikemukakan syarat‐syarat dasar bagi pemerintahan yang demokratis berdasarkan konsep rule of law. Pertama, perlindungan konstitusional. Kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. Ketiga, pemilihan umum yang bebas. Keempat, kebebasan menyatakan pendapat. Kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan kewarganegaraan. 25 Kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam negara hukum dengan tradisi rechtsstaat maupun rule of law. Franz Magnis‐Suseno menyebut empat syarat dalam gagasan negara hukum yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu adanya azas legalitas yang berarti pemerintah bertindak semata‐mata atas dasar hukum yang berlaku, adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan, adanya jaminan perlindungan terhadap hak‐hak asasi manusia, dan adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum dasar.26 Prinsip konstitusionalisme modern sesungguhnya menyangkut pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya.27 Peran negara yang menjadi besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara sesuai dengan konsensus bersama, yang dirumuskan dalam konstitusi, menyebabkan perkembangan kekuasaan umum dalam kehidupan warganegara semakin besar dan menuntut juga pengaturan serta pembatasan terhadapnya. Walaupun Pemerintah diperlukan bagi kehidupan umat manusia, tetapi setiap pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus tunduk pada pembatasan kekuasaan substantif penting dan kewajiban‐kewajiban tertentu. Terdapat beberapa hal yang tidak bisa dilakukan pemerintah, meskipun tindakan itu dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Konstitusionalisme berkait erat dengan demokrasi yang menghormati persamaan martabat manusia dengan kebebasan dan hak‐hak dasar yang dimiliki warga negara, yang telah menjadi nilai dasar setiap masyarakat yang adil. Terkait dengan beberapa teori demokrasi, juga ada beberapa versi konstitutionalisme. Untuk tujuan ini, yang paling penting adalah konstitusionalisme negatif yang erat dengan konsep atau gagasan liberal klasik bahwa fungsi pemerintah terbatas hanya pada peran penjaga malam; di lain pihak ada konstitusionalisme positif, yang berpendapat bahwa dalam dunia modern yang saling berhubungan erat dan menghormati martabat manusia, menimbulkan kewajiban pada Pemerintah untuk membantu warga negara mencapai kehidupan yang baik dan adil. Dengan demikian Pemerintah memiliki kewajiban positif untuk memajukan kesejahteraan warganya.28 Paham negara hukum, pemisahan kekuasaan negara, dan mekanisme checks and balances kemudian dikonstruksikan dalam struktur organisasi negara yang disusun secara normatif dalam produk perundang‐undangan. Sebagai sebuah produk hukum tertinggi, undang‐undang dasar menjadi landasan normatif utama pengaturan paham‐paham tersebut. Pemerintahan didasarkan pada aturan hukum dan konstitusi, merupakan kesepakatan atau konsensus yang sangat prinsipil, karena warga negara harus yakin bahwa penyelenggaraan negara harus dilaksanakan berdasarkan aturan main yang ditentukan bersama yang kemudian disebut rule of law. Dalam pengertian rule of law and not of man tersebut hukum dipandang sebagai satu kesatuan sistem, yang dipuncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi. Constitutional state merupakan ciri penting negara demokrasi modern, dimana konstitusi merupakan norma tertinggi dalam sistem aturan yang disepakati dalam memutus segala sesuatu berdasarkan aturan hukum.29 Demokrasi dan rule of law, sering disandingkan dengan paham konstitusionalisme, karena memang dalam ruang lingkup hukum, konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang‐undangan yang memuat organisasi kekuasaan negara, tetapi sekaligus menerapkan pembatasan terhadap negara. Konstitusi dipandang sebagai dokumen yang memuat aturan‐aturan dasar tentang organisasi negara dan pembagian kekuasaan di antara cabang‐cabang kekuasaan negara tersebut. Sebagai dokumen tertulis yang disetujui atau disepakati oleh rakyat konstitusi menetapkan prinsip dasar pengorganisasian pemerintahan, pengaturan, pembagian, dan pembatasan fungsi kekuasaan dari masing‐masing cabang kekuasaan. Miriam Budiardjo mengutip tulisan Richard yang menyatakan bahwa “Constitutionalism implements the rule of law; it brings about predictability and security in the relations of individuals and the government by defining in advance the powers and limits of that government.30 Sebagian besar pemerintahan di dunia diatur oleh kumpulan peraturan yang terdiri dari campuran aturan hukum dan non‐hukum, dan kumpulan aturan ini dapat disebut konstitusi. Tetapi ada garis pemisah antara mereka yang memandang sebuah konstitusi, terutama dan hampir secara ekslusif sebagai satu dokumen hukum dan secara praktis tidak ada yang lain. Tetapi ada juga yang memandang sebuah konstitusi sebagai satu jenis manifesto yang tidak dapat direduksi menjadi aturan hukum, melainkan merupakan confession of faith, a statement of ideals, a character of the land sebuah pengakuan kepercayaan, pernyataan cita‐cita, satu piagam negeri.31 Menjawab pertanyaan tentang apa yang harus dimuat oleh sebuah konstitusi, Wheare menyatakan sebuah konstitusi, pertama‐tama merupakan dokumen hukum dan dimaksudkan untuk menyatakan hukum yang paling tinggi supreme. Konstitusi harus membatasi diri hanya menyatakan aturan hukum, dan bukan pendapat, aspirasi, petunjuk dan kebijakan. Sebaliknya konstitusi modern memuat deklarasi hak‐hak warga atau tujuan‐tujuan politik atau tujuan pemerintah, yang tidak direduksi menjadi aturan‐aturan hukum.32 Keberadaan sebuah konstitusi secara luas dilihat sebagai sebuah syarat yang perlu bagi demokrasi dan rule of law. Negara‐negara yang bergerak dari kolonialisme menjadi merdeka atau dari negara dengan pemerintahan absolut menjadi pemerintahan demokrasi, selalu disertai dengan satu upacara peresmian sebuah konstitusi tertulis secara formal. Konstitusi karenanya merupakan pernyataan dasar dari sekelompok penduduk bersama‐sama sebagai warga dari satu bangsa tertentu dan dipandang sebagai aturan dasar tentang aturan dan nilai yang dimiliki bersama serta mereka setuju mengikatkan diri.33 Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian karena kekuasaan itu sendiri intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu, konstitusionalisme juga merupakan sistem yang terlembagakan, yaitu menyangkut pembatasan yang terlembagakan sebagai pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan pemerintahan.34 Kekuasaan negara merupakan alat untuk tujuan yang telah ditetapkan secara bersama, yaitu untuk melindungi dan mencapai kepentingan yang disepakati. Menurut Jimly, kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan.35 Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu hubungan antara lembaga pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Dikatakan pula bahwa oleh karenanya isi konstitusi biasanya dimaksudkan untuk mengatur empat hal penting, yaitu a meletakkan dasar dan filosofi negara, b menentukan pembatasan kekuasaan organ‐organ negara, c mengatur hubungan antara lembaga‐lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan d mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga‐lembaga negara dengan warganegara.36 Pembatasan atau checks and balances, dengan demikian merupakan hal yang diatur melalui pembagian kekuasaan negara. Satu cabang kekuasaan tidak dibenarkan melampaui wewenang yang ditentukan menurut hukum dasar yang termuat dalam konstitusi, melalui wewenang cabang kekuasaan lain yang berdiri sejajar untuk menilai dan memberi keputusan atas satu keluhan tentang terjadinya pelampauan kekuasaan tersebut. Konstitusionalisme menggambarkan mekanisme checks and balances yang berarti kekuasaan legislatif dan eksekutif diletakkan di bawah kendali dan tidak sewenang‐wenang tanpa pengawasan.37 Konstitusionalisme memang membutuhkan adanya pemerintah yang dilengkapi kekuasaan tetapi pada saat yang sama menuntut pembatasan atas kekuasaan tersebut harus dilakukan. Jain lebih lanjut mengutarakan “Therefore, to preserve the basic freedoms of the individual, and to maintain his dignity and personality, the Constitution should be permeated with “Constitutionalism”; it should have some in‐built restrictions on the powers conferred by it on governmental organs…The antithesis of Constitutionalism is despotism. Unlimited power may lead to an authoritarian, oppressive government which jeopardizes the freedoms of the people”.38 Paham negara hukum, pemisahan kekuasaan negara, dan mekanisme checks and balances kemudian dikonstruksikan dalam struktur organisasi negara yang disusun secara normatif dalam produk perundang‐undangan. Sebagai sebuah produk hukum tertinggi, undang‐undang dasar menjadi landasan normatif utama pengaturan paham‐paham tersebut. Demokrasi dan rule of law, sering disandingkan dengan paham konstitusionalisme, karena memang dalam ruang lingkup hukum, konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang‐undangan yang memuat organisasi kekuasaan negara, tetapi sekaligus menerapkan pembatasan terhadap negara. Konstitusi dipandang sebagai dokumen yang memuat aturan‐aturan dasar tentang organisasi negara dan pembagian kekuasaan di antara cabang‐cabang kekuasaan negara tersebut. Sebagai dokumen tertulis yang disetujui atau disepakati oleh rakyat, konstitusi menetapkan prinsip dasar pengorganisasian pemerintahan, pengaturan, pembagian, dan pembatasan fungsi kekuasaan dari masing‐masing cabang kekuasaan. Miriam Budiardjo mengutip tulisan Richard yang menyatakan bahwa “Constitutionalism implements the rule of law; it brings about predictability and security in the relations of individuals and the government by defining in advance the powers and limits of that government.39 Sebagian besar pemerintahan di dunia diatur oleh kumpulan aturan yang terdiri dari campuran aturan hukum dan non‐hukum, dan kumpulan aturan ini dapat disebut konstitusi. Tetapi ada garis pemisah antara mereka yang memandang sebuah konstitusi terutama dan hampir secara ekslusif sebagai satu dokumen hukum dan secara praktis tidak ada yang lain. Tetapi ada juga yang memandang sebuah konstitusi sebagai satu jenis manifesto yang tidak dapat direduksi menjadi aturan hukum, melainkan merupakan confession of faith, a statement of ideals, a character of the land sebuah pengakuan kepercayaan, pernyataan cita‐cita, satu piagam negeri.40 Menjawab pertanyaan tentang apa yang harus dimuat oleh sebuah konstitusi, Wheare menyatakan sebuah konstitusi, pertama‐tama merupakan dokumen hukum dan dimaksudkan untuk menyatakan hukum yang paling tinggi supreme. Konstitusi harus membatasi diri hanya menyatakan aturan hukum, dan bukan pendapat, aspirasi, petunjuk dan kebijakan. Sebaliknya konstitusi modern memuat deklarasi hak‐hak warga atau tujuan‐tujuan politik atau tujuan pemerintah, yang tidak direduksi menjadi aturan‐aturan hukum.41 Keberadaan sebuah konstitusi secara luas dilihat sebagai sebuah syarat yang perlu bagi demokrasi dan rule of law. Negara‐negara yang bergerak dari kolonialisme menjadi merdeka atau dari negara dengan pemerintahan absolut menjadi pemerintahan demokrasi, selalu disertai dengan satu upacara peresmian sebuah konstitusi tertulis secara formal. Konstitusi karenanya merupakan pernyataan dasar dari sekelompok penduduk bersama‐sama sebagai warga dari satu bangsa tertentu dan dipandang sebagai aturan dasar tentang aturan dan nilai yang dimiliki bersama serta mereka setuju mengikatkan diri.42 Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian karena kekuasaan itu sendiri intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu, konstitusionalisme juga merupakan sistem yang terlembagakan, yaitu menyangkut pembatasan yang terlembagakan sebagai pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan pemerintahan.43 Kekuasaan negara merupakan alat untuk tujuan yang telah ditetapkan secara bersama, yaitu untuk melindungi dan mencapai kepentingan yang disepakati. Menurut Jimly, kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan.44 Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu hubungan antara lembaga pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Dikatakan pula bahwa oleh karenanya isi konstitusi biasanya dimaksudkan untuk mengatur tiga hal penting, yaitu a menentukan pembatasan kekuasaan organ‐organ negara, b mengatur hubungan antara lembaga‐lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan c mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga‐lembaga negara dengan warganegara.45 Pembatasan atau checks and balances tersebut, dengan demikian merupakan hal yang diatur pembagian kekuasaan negara. Pembatasan itu terbentuk dengan menetapkan bahwa satu cabang kekuasaan tidak dibenarkan melampaui wewenang yang ditentukan menurut hukum dasar yang termuat dalam konstitusi, dan juga tidak melampaui wewenang cabang kekuasaan lain yang berdiri sejajar satu sama lain. Akan tetapi pembatasan tersebut terlembagakan dalam satu cabang kekuasaan yang secara khusus menilai dan memberi keputusan atas satu keluhan tentang terjadinya suatu pelampauan kekuasaan. Konstitusionalisme menggambarkan mekanisme checks and balances yang berarti kekuasaan legislatif dan eksekutif diletakkan di bawah kendali dan tidak sewenang‐wenang tanpa pengawasan.46 Konstitusionalisme memang membutuhkan adanya pemerintah yang dilengkapi kekuasaan tetapi pada saat yang sama menuntut bahwa pembatasan atas kekuasaan tersebut harus dilakukan. Demokrasi Ide pemisahan kekuasaan separation of power/scheiding van machten sebagaimana dikemukakan oleh Stahl merupakan syarat agar sebuah negara dapat disebut sebagai negara hukum. Ide tersebut pada dasarnya merupakan upaya untuk melindungi kedaulatan rakyat sebagai elemen utama sebuah negara demokrasi. Rakyat sebagai puncak kekuasaan tertinggi daulat rakyat dimaknai bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang‐ Undang Dasar. Hal tersebut diartikan bahwa kekuasaan pemerintahan dan pembuatan peraturan perundang‐undangan merupakan hak rakyat. Pemilik kekuasaan tertinggi adalah rakyat dan penyelenggaraan kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Masyarakat modern dengan kompleksitas kelompok‐kelompok yang beragam dalam wilayah yang sangat luas, tidak dapat dikelola secara efisien tanpa lembaga‐lembaga dan jabatan untuk melaksanakan kekuasaan secara efisien. Pelaksanaan kekuasaan rakyat demikian tidak efisien dan kemungkinan tidak efektif jikalau dilakukan secara langsung. Akan tetapi, segala bentuk penggunaan kekuasaan tetap harus memperoleh legitimasinya melalui persetujuan rakyat dan senantiasa harus berada di bawah pengawasan pihak yang dikuasai. Gagasan demokrasi modern selalu dihubungkan dengan hak‐hak asasi manusia yang merupakan hak‐hak sipil dan politik. Dalam masyarakat dan negara yang demokratis, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan, baik melalui hak memilih wakil‐wakilnya maupun memilih pemimpin yang diberi mandat dalam pemerintahan. Di samping itu, hak untuk dipilih dalam suatu kompetisi yang disebut pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil, dilaksanakan secara periodik. Demokrasi dalam arti suatu proses untuk memilih wakil‐wakil dan pemimpin negara atau pemerintahan, barulah merupakan makna demokrasi yang formal. Ada yang menyebutnya sebagai demokrasi minimalis.47 Realitas sejarah menunjukkan bahwa demokrasi modern berkembang sebagai demokrasi representatif. Artinya tidak segala keputusan harus diambil langsung oleh rakyat. Pembuatan undang‐undang dilakukan oleh wakil‐wakil tersebut dan bukan dibuat oleh rakyat secara langsung sehingga keputusan‐keputusan penting dalam kenyataan diambil oleh beberapa orang saja.48 Kekuasaan yang dijalankan oleh wakil‐wakil, harus berdasarkan atau sesuai dengan tatanan yang disetujui oleh masyarakat, sehingga senantiasa kekuasaan harus memperoleh legitimasi demokratis sebagai kehendak mereka yang dikuasai.49 Pengawasan langsung terhadap kekuasaan tersebut secara nyata dilakukan secara periodik melalui pemilihan umum. Rakyat akan memutuskan apakah masih memberi mandat baru kepada wakil‐wakil mereka atau tidak berdasarkan disetujui tidaknya kebijakan dan putusan yang diambil atas nama rakyat dalam masa pemerintahan yang telah berlalu. Pemungutan suara dalam pemilihan umum merupakan aspek yang amat penting dalam demokrasi. Namun, demokrasi bukanlah menyangkut soal pemungutan suara saja. Partisipasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintahan merupakan aspek penting lain, karena pengambilan keputusan kolektif yang dapat dikatakan demokratis hanyalah sejauh hal itu tunduk pada pengawasan semua anggota kelompok yang di bawah kekuasaannya. Kesempatan bagi diskusi yang terbuka untuk mengungkapkan aspirasi dan mendengar aspirasi pihak lain tanpa rasa takut dalam perspektif yang lebih luas, disertai perdebatan dalam masyarakat secara terbuka yang memungkinkan interaksi yang mendalam tentang pemikiran dan praktik bernegara, diperlukan untuk menjamin fakta pluralisme yang sentral terhadap kultur politik demokrasi modern di masyarakat.50 Proses demokrasi seperti itu dapat menjadi satu mekanisme untuk mempengaruhi pilihan kebijakan pemerintahan, karena mampu mengungkapkan informasi tentang nilai‐nilai dan prioritas masyarakat serta individu yang dapat di respon dalam pengambilan keputusan sebagai pilihan kebijakan. Prasyarat terhadap proses demikian ditentukan oleh adanya keterbukaan atau transparansi dalam pengambilan keputusan dan beban pertanggungjawaban yang diletakkan pada pejabat publik yang menjalankan kekuasaan. Dalam proses demokrasi Indonesia yang dicita‐citakan, diperlukan toleransi terhadap pandangan yang berbeda untuk memungkinkan proses perdebatan dan diskusi dalam masyarakat secara efektif sebagai bentuk modern dari musyawarah dan mufakat yang dikenal selama ini. Toleransi yang diharapkan juga meliputi kesepakatan untuk tidak sepakat tentang hal‐hal tertentu agree to disagree, serta mendorong debat publik yang mendukung nilai pembelajaran dari pihak lain.51 Karena itu demokrasi juga merupakan persoalan tradisi dan budaya politik yang egaliter dalam realitas kehidupan masyarakat dengan nilai‐nilai dan latar belakang yang beragam atau plural, yang saling menghargai satu sama lain.52 Suatu indikator penting dari Negara demokrasi, bukan hanya bagi Indonesia adalah diberikannya legal standing kepada perseorangan atau kelompok orang untuk mengajukan judicial review terhadap suatu undang‐ undang karena dipandang merugikan hak konstitusional orang‐per‐orang dengan cara yang bertentangan dengan undang‐undang dasar. Jika dikaitkan dengan konsep demokrasi menurut Amartya Sen, suatu kebijakan publik dalam bentuk undang‐undang dapat diperdebatkan secara terbuka di depan Mahkamah Konstitusi, dan jika seorang Pemohon berhasil meyakinkan Hakim Konstitusi tentang adanya pelanggaran konstitusi yang dilakukan, maka undang‐undang yang diuji demikian akan dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demokrasi Pancasila. Perkembangan politik terakhir di DPR tentang pemilihan pimpinan DPR dan Badan Kelengkapannya, menunjukkan kepada kita adanya kecenderungan mengesampingkan konsep demokrasi Pancasila, yang merumuskan demokrasi yang kita anut adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikjaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Musyawarah mufakat adalah ciri demokrasi yang kita anut. Perdebatan sepanjang masa pemilihan umum, dengan tuding menuding bahwa pemilihan yang berlangsung menunjukkan dianutnya demokrasi barat, menjadi bahan pemikiran karena dilakukannya voting. Memang tidak dapat disangkal ketika yang dipilih adalah perseorangan yang akan menduduki jabatan tertentu, maka suatu metode yang praktis dan dikenal diseluruh dunia adalah voting. Apalagi jika hal tersebut mencakup wilayah yang luas dan jumlah pemilih yang besar. Tetapi ketika yang dipilih adalah pimpinan lembaga, yang memiliki jabatan‐jabatan majemuk seperti pimpinan DPR dankelengkapannya, maka suatu konsep pemilihan yang didasarkan pada sistem paket dan diajukan fraksi, dengan 2 koalisi partai yang menghimpun kekuatan kursi dalam dua kubu, praktis pemilihan dengan voting akan menghasilkan logika demokrasi yang aneh, karena adanya representasi kursi yang menggambarkan suara dan mandate rakyat, menjadi tidak proporsional. Ini merupakan hasil pertarungan politik pilpres yang dilanjutkan dengan dipaksakannya Undang‐Undang MD3, yang tampaknya sangat ganjil dan menunjukkan sikap yang sama sekali tidak demokratis. Ini sesungguhnya merupakan suatu penyimpangan demokrasi, boleh dikatakan menunjukkan banyaknya pemimpin yang menyebut diri kampiun demokrasi, tetapi sesungguhnya memiliki kecenderungan bahkan karakter diktatur otoriter. Meskipun demikian kita melihatnya sebagaimana Yudi Latif menulis bahwa Mohammad Hatta bernubuat demokrasi tidak bisa dilenyapkan dari denyut kehidupan bangsa Indonesia, dan mengutip Hatta, yang menyatakan “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan. Berlainan daripada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat berakar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama‐lamanya”.53 Kondisi demokrasi yang tampak mengedepankan voting dalam pimpinan lembaga dengan jabatan majemuk seperti DPR, yang kelihatan bertentangan mengkedepankan musyawarah mufakat, tidak juga dapat bertahan. Para wakil yang dipilih rakyat, yang menyimpangkan mandate yang diberikan kepada mereka dengan mudah dikoreksi dalam pemilihan berikut. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan, yang memberi mandate kepada wakil, kehendaknya merupakan perintah yang dijalankan wakil yang dipilih. Pertentangan wakil dengan yang diwakili, akan menimbulkan persoalan keabsahan kewenangan yang dijalankan. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tentu dapat menarik perwakilannya. Meskipun sebagaimana disebut Hatta, hal demikian bersifat sementara, namun hal demikian bersifat mengikut siklus pemerintahan, yaitu dalam periode lima tahunan. Perubahan Kedua UUD 1945, yang mengadopsi hak‐hak asasi manusia menjadi bagian dari konstitusi membawa pula konsekuensi yang sangat luas dilihat dari keluasan dan kedalaman ukuran‐ukuran yang mengikat dalam tindakan dan kebijakan Negara. Dalam UUD 1945 termuat komitment Negara bukan hanya untuk menghormati dan melindungi to respect and to protect hak asasi tersebut melainkan terutama juga untuk mewujudkan to fullfil.54 Hak asasi manusia yang menjadi muatan bab XA, sesungguhnya merupakan upaya untuk meletakkan harkat dan martabat manusia Indonesia sebagai nilai dasar tertinggi tujuan terbentuknya Negara Indonesia, sehingga kita dapat menyatakan bahwa dia menjadi landasan tertib konstitusi itu sendiri. Oleh karenanya, dilihat dari tujuan Negara itu sendiri, menghormati dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia Indonesia menjadi ukuran utama keberhasilan atau kegagalan satu Negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dengan ukuran yang luas dan mendalam demikian secara sederhana kita mengatakan bahwa segala sesuatu berupa tindakan dan/atau kebijakan dari individu dan penguasa yang tidak berdasarkan atau menyimpang dari konstitusi, disebut tidak konstitusional. Dengan kata lain dapat disebut bahwa konstitusi dibentuk bukan hanya untuk membentuk satu sistem pemerintahan, tetapi juga berfungsi untuk mengarahkan, mengintegrasikan dan memberi legitimasi pada kebijakan dan tindakan Negara 55, baik dari sisi teks konstitusi maupun dari sistem nilai yang diletakkan sebagai moralitas Meskipun konstitusi memiliki hubungan yang melekat dengan gagasan konstitusionalisme, masih perlu dibedakan dengan pengertian konstitusionalisme, yaitu sebagai paham yang meletakkan pembatasan terhadap kekuasaan atau penyelenggara kekuasaan, yang dilakukan baik dengan pemisahan atau pembagian cabang‐cabang kekuasaan maupun dengan pengakuan dan jaminan hak‐hak rakyat melalui konstitusi. Prinsip konstitusionalisme modern sesungguhnya menyangkut pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya.56 Peran negara yang menjadi besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara sesuai dengan konsensus bersama, yang dirumuskan dalam konstitusi, menyebabkan perkembangan kekuasaan umum dalam kehidupan warganegara semakin besar dan menuntut juga pengaturan serta pembatasan terhadapnya. Walaupun Pemerintah diperlukan bagi kehidupan umat manusia, tetapi setiap pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus tunduk pada pembatasan kekuasaan substantif penting dan kewajiban‐kewajiban tertentu. Terdapat beberapa hal yang tidak bisa dilakukan pemerintah, meskipun tindakan itu dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Konstitusionalisme berkait erat dengan demokrasi yang menghormati persamaan martabat manusia dengan kebebasan dan hak‐hak dasar yang dimiliki warga negara, yang telah menjadi nilai dasar setiap masyarakat yang adil. Terkait dengan beberapa teori demokrasi, juga ada beberapa versi konstitutionalisme. Untuk tujuan ini, yang paling penting adalah konstitusionalisme negatif yang erat dengan konsep atau gagasan liberal klasik bahwa fungsi pemerintah terbatas hanya pada peran penjaga malam; di lain pihak ada konstitusionalisme positif, yang berpendapat bahwa dalam dunia modern yang saling berhubungan erat dan menghormati martabat manusia, timbul kewajiban pada Pemerintah untuk membantu warga negara mencapai kehidupan yang baik dan adil. Dengan demikian Pemerintah memiliki kewajiban positif untuk memajukan kesejahteraan warganya.57 Ruang lingkup konstitusionalisme tersebut dalam literatur diuraikan sangat luas, namun pada hakekatnya meliputi unsur‐ unsur berikut ini 1. Kekuasaan politik tunduk pada hukum. 2. Diakuinya jaminan dan perlindungan hak‐hak asasi manusia. 3. Adanya peradilan yang bebas dan mandiri. 4. Pertanggungjawaban publik dari penyelenggara Negara akuntabilitas publik yang merupakan sendi utama kedaulatan rakyat. Pengertian konstitusi sebagai kosa kata yang dikenal juga dalam bahasa Perancis, constituer yang artinya membentuk, sehingga kemudian konstitusi dipahami sebagai pembentukan satu Negara atau menyusun satu Negara.58 Konstitusi itu mendahului pemerintahan, karena dibuat oleh rakyat untuk membentuk pemerintahan. Kurang lebih sama dengan yang disebut Cicero, Thomas Paine mengatakan bahwa “A constitution is antecedent to a government and a government is only the creature of a constitution”.59 Dalam kenyataan kita menemukan bahwa sesungguhnya UUD 1945 baru disahkan tanggal 18 Augustus 1945, dan Konstitusi Amerika di sahkan 11 tahun setelah kemerdekaannya. Namun dalam perdebatan tentang pembentukan konstitusi, ide‐ide dan konsepsi yang sedang dirumuskan dioerasikan dalam membentuk Negara melalui proklamasi kemerdekaan. Pengertian dan konsep konstitusi mencakup peraturan‐peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi tata Negara yang menentukan susunan dan kedudukan organ‐organ Negara, hubungan diantara satu organ dengan yang lain dan hubungan organ Negara dengan warganegara. Kekuasaan menjadi pusat pengaturan dan perhatian setiap konstitusi, yang harus dikenali sumber, tujuan dan penggunaannya, dalam rangka membatasi penggunaannya. Oleh karena itulah dikatakan bahwa konstitusionalisme dikatakan sebagai satu system kelembagaan tentang pembatasan yang efektif dan teratur terhadap kekuasaan pemerintahan.60 Konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat semua pihak, berlaku berdasarkan kedaulatan yang dianut, apakah kedaulatan Negara atau kedaulatan rakyat. Dalam hal dianut kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945, maka sumber legitimasi UUD atau konstitusi adalah rakyat.61 Dalam hal ini, maka yang menentukan bahwa satu konstitusi berlaku ditentukan oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembagai perwakilan. Konstitusi bukan merupakan peraturan legislative biasa, yang dibentuk badan legislative biasa melainkan ditetapkan oleh badan yang khusus dan lebih tinggi. Jika norma dalam konstitusi bertentangan dengan norma dalam undang‐undang, ketentuan UUD yang berlaku dan undang‐undang yang lebih rendah harus memberi jalan.62 Dari pengertian itu dikembangkan hierarki perundang‐undangan, dimana konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku dan dietrima secara universal, konstitusi sebagai hukum yang paling tingggi serta paling fundamental sifatnya karena menjadi sumber legitimasi atau landasan pembentukan peraturan perundang‐undangan lain dibawahnya. Agar peraturan perundang‐undangan yang berada dibawahnya dapat berlaku dan mengikat, peraturan perundang‐undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi yaitu konstitusi. Konstitusi Yang Tidak Tertulis. Konstitusi yang tidak tertulis dikatakan sebagai prinsip dasar dan nilai‐nilai moral yang merupakan norma‐norma yang tidak tertulis yang boleh dipandang abstrak tetapi merupakan hal yang ideal dalam kehidupan bernegara. Nilai‐nilai tersebut menjadi pandangan hidup masyarakat tertentu dan sebagai sumber norma sebagai dasar berlakunya norma yang lebih kongkrit dan tertulis. Nilai dan pandangan hidup suatu bangsa ini oleh Hans Kelsen disebut Grundnorm, tetapi oleh mudridnya bernama Hans Nawiasky disebut sebagai Staatsfundamentalnorm.63 Semua norma dalam konstitusi yang tertulis yang menjadi hukum dasar, harus dapat diuji – keabsahan, konsistensi atau kesesuaiannya ‐ dengan norma dasar atau Grundnorm yang juga disebut sebagai Ursprungnorm.64 Bagi Indonesia, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan falsafah dan Dasar Negara, merupakan nilai‐nilai dan moralitas yang harus dipedomani dan menjiwai seluruh peraturan hukum dibawahnya. Sebagai Dasar Negara, Pancasila tidak dirumuskan dalam bentuk norma, akan tetapi sebagai prinsip yang masih harus digali dan dielaborasi dari nilai dan prinsip tersebut menjadi sesuatu yang kongkrit dan operasional kedalam norma yang tertulis dan mengikat. Dia menjadi Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm yang memiliki fungsi kritik terhadap setiap peraturan hukum yang berlaku apakah sesuai atau bertentangan dengannya. Kalau bertentangan harus tidak boleh diperlakukan. Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances UUD 1945 dengan 4 perubahan yang dilakukan, diantaranya membentuk Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan secara khusus untuk melakukan cheks and balances melalui apa yang disebvut pengujian undang‐undang sebagai satu legal policy terhadap Undang‐Undang Dasar yang merupakan tertib konstitusi yang menjadi norma hokum tertinggi yang sarat dengan sistem nilai yang dianut. Oleh karena itu, judicial review dengan kewenangan MK untuk menguji undang‐ undang terhadap UUD 1945, karenanya telah menjadi unsur utama dari implementasi konstitusi, konstitusionalisme dan rule of law. Sebagai pernyataan kelembagaan tertinggi dalam Negara hokum MK memiliki tugas khusus yang dirumuskan dalam konstitusi, khususnya ketika cabang kekuasaan Negara diduga melanggar konstitusi, harus di dengar keterangannya di depan Mahkamah Konstitusi. Instrumen ini menjadikan UUD 1945 dapat ditegakkan, karena konflik yang timbul antara teks konstitusi dengan kebijakan yang dijabarkan, dapat dipermasalahkan dan diberi sanksi inkonstitusional oleh MK. Dengan pengalaman sejarah tentang ancaman bahaya karena diletakkannya kekuasaan negara di dalam satu tangan dan untuk mencegah hal yang sama, maka prinsip pemisahan kekuasaan negara tidak diterapkan secara kaku dan komplit. Untuk tujuan demikian, dalam teori konstitusi berkembang kemudian ide checks and balances yang menyertai teori separation of powers tersebut. Doktrin atau prinsip pemisahan kekuasaan secara ketat dan kaku akan menimbulkan konsekwensi‐konsekwensi sebagaimana diuraikan oleh Carl Scmitt, yang menyebabkan cabang‐cabang kekuasaan yang ada tidak terhubungkan satu dengan yang lain dalam koordinasi untuk melaksanakan tujuan bernegara secara bersama‐sama dan terorganisasi. Tanpa koordinasi dalam melaksanakan tujuan bersama, dapat timbul aktivitas‐aktivitas negara yang campur aduk secara berdiri sendiri dan tidak berhubungan satu satu sama lain. Untuk menghindari hal demikian, kekuasaan tersebut harus diselenggarakan dalam keadaan terhubungkan satu sama lain dan perlu diberikan kewenangan secara fungsional pada masing‐masing cabang untuk melakukan kontrol terhadap cabang kekuasaan lainnya, agar penyelenggaraan kekuasaan negara menjadi efektif.65 Hal itu bertujuan untuk menciptakan satu keseimbangan atau equilibrium di antara cabang‐cabang kekuasaan tersebut. Balance atau keseimbangan di antara kekuatan yang berlawanan telah menjadi pemikiran di Eropa sejak abad keenam belas, termasuk di antaranya bertitik tolak dari teori gravitasi Perintis sesungguhnya teori konstitusi “balance of powers” adalah Bolingbroke yang menyebarluaskan gagasan tentang satu pengawasan dan penyeimbangan timbal balik a reciprocal control and balancing.67 Sumber lainnya menyatakan bahwa frasa checks and balances sendiri, dalam sejarah pertama sekali digunakan oleh John Adams, Presiden Amerika Serikat kedua tahun 1735‐1826, ketika mengucapkan pidatonya “Defense of the constitution of the United States” pada tahun 1787, meskipun sejarahnya dapat ditelusuri lebih jauh sebelumnya.68 Checks and balances merupakan elemen mendasar kedua dalam konstitusi di samping separation of powers. Teori konstitusi memberi argumen bahwa kekuasaan negara haruslah sedemikian rupa dibagi‐bagi dan diseimbangkan di antara beberapa badan, sehingga tidak satu badan pun yang melampaui batas kewenangannya tanpa pengawasan dan pembatasan dari badan‐badan lainnya. Atas dasar konsepsi yang demikian, badan legislatif, eksekutif, dan judikatif harus terpisah dan berbeda, dan tidak satu cabangpun yang melaksanakan kekuasaan lebih dari satu pada saat yang sama. Dalam keadaan terpisah dan berbeda tersebut, tidak terdapat batas yang tegas antara kekuasaan yang satu dari yang lainnya. Hanya dengan satu garis demarkasi tentang batas konstitusi yang kaku, bukan merupakan jaminan yang cukup terhadap kemungkinan perampasan kekuasaan yang mengarah kepada kekuasaan tiranis. Suatu kepantasan yang dapat dipedomani untuk mempertahankan pemisahan kekuasaan sebagaimana ditentukan oleh konstitusi, hanyalah dengan suatu rancangan struktur interior pemerintahan, dengan menyusun hubungan timbal balik di antara bagian‐bagian utama kekuasaan negara sebagai sarana untuk menjaga satu cabang kekuasaan berada di tempat yang seharusnya.69 Checks and Balances sekarang telah menjadi frasa yang dipergunakan secara luas untuk menguraikan proses yang wajar dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, dimana kekuasaan digunakan untuk mengawasi kekuasaan. Le pouvoir arrete le pouvoir. So that one can not abuse power,power must check power by the arrangement of things.70 Kata balance yang kita pahami sebagai keseimbangan, tidak selalu diartikan bahwa kekuasaan negara harus dibagi secara sama atau seimbang diantara ketiga kekuasaan negara. Justru hal itu merupakan soal tersendiri, bagaimana menyeimbangkan tiga kekuasaan yang tidak sama. Pada pertengahan abad 18, terdapat dua pemikiran tentang balance of powers tersebut. Satu pemikiran menekankan pembentukan aliansi diantara dua kekuasaan untuk mengimbangi kekuasaan ketiga, sedang pemikiran yang lain lebih menekankan kemandirian independence kekuasaan‐kekuasaan itu.71 Kata checks seringkali dipadankan dengan kata pengawasan control, yang diartikan sebagai pencegahan satu perbuatan atau penggunaan veto. Arti lain yang diberikan kepada kosakata “to check” adalah menguji. Sementara itu makna berbeda yang juga pernah diberikan kepada “to check” itu adalah menunda, menghambat dan mengerem. Adagium bahwa power tends to corrupt yang diartikan bahwa untuk kekuasaan yang cenderung dapat menyebabkan orang baik menjadi buruk atau jahat, memerlukan “rem” untuk menghambat terjadinya keputusan‐keputusan yang melanggar hak‐hak asasi warganegara dan kebebasan‐kebebasan yang dilindungi konstitusi.72 Dalam kerangka checks and balances tersebut, perkembangan pengujian undang‐undang terhadap Undang‐Undang Dasar constitutional review yang dilakukan badan judikatif yang dikatakan oleh Kelsen sebagai negative legislation 73, justru sekarang dikatakan oleh Christopher Wolfe telah menjadi positive legislation, melalui apa yang disebut judge‐made law di bidang konstitusi yang menurutnya telah diterima di Amerika Serikat. Christopher Wolfe menulis “Post‐1937 constitutional interpretation and judicial review were very different in an important regard, however. They reflected the victory of a distinctly modern understanding of judicial power as fundamentally legislative in character”. …The result was nearly total victory within the legal profession of the view that judges‐including the Supreme Court justices exercising the power of judicial review—are inevitably legislators.74 Doktrin checks and balances klasik yang merupakan pertumbuhan awal ketatanegaraan modern, yang dalam perkembangannya kemudian mengalami tahap yang lebih kompleks. Model pemisahan kekuasaan negara yang klasik atau konvensional dengan tiga cabang kekuasaan negara ‐eksekutif, legislatif, dan judikatif‐ seperti yang dianut oleh John Locke dan Montesqieue, tidak lagi memadai, berkenaan dengan pertumbuhan tugas negara dalam konsepsi negara kesejahteraan yang menyebabkan kelembagaan negara yang timbul semakin beragam dan kompleks. Teori klasik pemerintahan yang ditandai oleh pemikiran liberalisme, menganut pendirian bahwa pemerintahan itu harus terbatas dan ramping, karena tujuannya adalah untuk melindungi hak‐hak individu. Teori klasik tentang pemisahan yang membagi kekuasaan dalam tiga cabang kekuasaan negara, dimaksudkan untuk mencegah adanya cabang kekuasaan negara yang memiliki kewenangan atau kekuasaan yang terlalu besar. Kesimpulan dan Penutup. a. Paham Konstitusionalisme yang mengandung prinsip pembatasan kekuasaan, diejawantahkan lebih jauh dalam prinsip rule of law dan demokrasi dan prinsip lainnya. b. Judicial review merupakan instrumen checks and balances yang telah diterima dengan baik sebagai mekanisme untuk menjaga kehidupan bernegara berdasarkan konsep konstitusionalisme dan rule of law Indonesia. Diberikannya legal standing kepada perorangan dan kesatuan masyarakat hukum adat untuk menggerakkan kewenangan MK untuk menguji undang‐undang kepada UUD 1945, disamping lembaga negara dan badan hukum privat serta badan hukum publik, menunjukkan cirinya yang sangat demokratis. c. Pemuatan Hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945, merupakan bentuk pembatasan kekuasaan negara yang paling intense, yang sifatnya sangat individual tetapi diterapkan dalam keseimbangan dengan hak‐hak sosial politik dan ekonomi dari masyarakat. Jakarta, 10 Augustus Philips Hood and Jackson, sebagaimana dikutip Jimly Asshidiqie, hal 115. 2 Charles Howard McIlwain, sebagaimana dikutip Jimly Asshidiqie, hal 89. 3 Carl Scmitt, Constitutional Theory,Translated and edited by Jeffrey SeitzerDuke university Press, Durham and London, 2008, h. 59. 4 Ibid., hal. 33‐34. 5 Barry M. Hager, The Rule of Law, A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center for Pacific Affair, 2000, hal. 19. 6 Petra Stockman, Indonesian Reformasi as Reflected in Law Change and Continuity in Post‐Suharto Era Legislation on the Political System and Human Rights Lit Verlag 2005, hal. 7. 7 Ibid, hal.. 8 Jimly Asshidiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Jakarta Konpress, 2005 hal 27,31, 69. 9 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia Jakarta Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1988 hal 153. Wolfgang Friedmann, dalam Legal Theory London Steven & Son Limited, 1960 hal 456. 10 Petra Stockman, hal. 7. 11 Naskah UUD Republik Indonesia, versi Moh. Yamin, hal. 76. 12 Ibid., hal. 16‐17. 13 Mauro Capelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, Clarendon Press‐Oxford, 1989, hal 130. 14 Lawrence Friedman, Law in Social Change, sebagaimana dikutip oleh Sunaryati Hartono, dalam Apakah the Rule of Law itu Bandung Alumni, 1968 hal. 5. 15 Ibid., hal. 5‐6. 16 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya Jakarta Genta Press 2008 hal. 31. 17 Ibid., hal. 32. 18 Ibid., hal. 9. 19 Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law, History, Politics, Theory Cambride Cambridge University Press, 2004 20 Satjipto Rahardjo, hal. 29. 21 Ibid., hal. 102. 22 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia Jakarta Ind‐Hill Co, 1989 hal. 30. 23 Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition London English Language Book Society and MacMillan, 1971 hal. 223‐224. 24 Lihat misalnya Robert Mohl, Two Cocepts of the Rule of Law Indianapolis Liberty Fund Inc. 1973 hal. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. McIlwain, Constitutionalism Ancient and Modern Ithaca, New York Cornel University Press, 1974 hal. 146. 25 South‐East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15‐19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age Bangkok International Commission of Jurist, 1965 hal. 39‐45. 26 Franz‐Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern Jakarta Gramedia, 1993 hal. 298‐301 Franz‐Magnis Suseno memberikan catatan khusus berkaitan dengan ciri adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Dikatakannya bahwa dengan adanya asas kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka diharapkan badan yudikatif dapat melakukan kontrol dari segi hukum terhadap kekuasaan negara di samping untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari pengaruh kekuasaan pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak‐hak asasi manusia oleh penguasa, karena kekuasaan kehakiman yang secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsinya tersebut. 27 Jimly Asshidiqie,Konstitusi &Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2006, hal 23‐24. Jimly mengutip Walton H. Hamilton yang menyebutkan bahwa “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order”. 28 Wakter F. Murphy,Creating and Maintaining a Just Political Order,The John Hopkins University Press, Baltimore 2007, hal 6‐7. 29 Jimly Asshidiqie, hal. 27‐28. 30 Miriam Budiardjo, hal. 172. 31 K. C. Wheare, Modern Constitution New York‐Toronto Oxford University Press, 1975 hal. 1 dan 32. 32 Ibid., hal. 33‐34. 33 Barry M. Hager, The Rule of Law, A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center for Pacific Affair, 2000, hal. 19. 34 Jimly Asshidiqie, op. cit., hal. 21. 35 Ibid., hal. 25. 36 Ibid., hal. 29. 37 Indian Constitutional Law India Wadhwa Nagpur, Fifth Edition, Reprint 2004 hal. 5. 38 Ibid. 39 Miriam Budiardjo, hal. 172. 40 K. C. Wheare, Modern Constitution New York‐Toronto Oxford University Press, 1975 hal. 1 dan 32. 41 Ibid., hal. 33‐34. 42 Barry M. Hager, The Rule of Law, A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center for Pacific Affair, 2000, hal. 19. 43 Jimly Asshidiqie, op. cit., hal. 21. 44 Ibid., hal. 25. 45 Ibid., hal. 29. 46 Indian Constitutional Law India Wadhwa Nagpur, Fifth Edition, Reprint 2004 hal. 5. 47 Arbi Sanit, Partai Politik dan Demokrasi Minimalis, Keterangan Ahli dalam Sidang MK tanggal 13 Mei 2008. 48 Franz Magnis Suseno, hal. 290. 49 Ibid. 50 Amartya Sen, Democracy and Its Global Roots, dalam The New Republic, 2003, hal. 29. 51 Ibid., hal. 31. 52 Jimly Asshidiqie, hal. 56. 53 Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Akuntabilitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, hal 386. 54 Pasal 28I ayat 4 UUD 1945. 55 Donald P. Kommers, hal 39. 56 Jimly Asshidiqie,Konstitusi &Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2006, hal 23‐24. Jimly mengutip Walton H. Hamilton yang menyebutkan bahwa “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order”. 57 Walter F. Murphy, Creating and Maintaining a Just Political Order,The John Hopkins University Press, Baltimore 2007, hal 6‐7. 58 Wirjono Prodjodikoro, Asas‐Asas Hukum Tata Negara,Dian Rakyat, Jakarta 1989, hal 10. 59 Thomas Paine, Righst of Man in The Complete Works of Thomas Paine, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshidiqie, hal 19. 60 Friedrich, Man and His Government, sebagaimana dikutip Jimly Asshidiqie, op. cit hal 116. 61 Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. 62 Alexander Hamilton, The Federalist Paper, Mentor Book 1961, hal… 63 Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System der Rechtslichen Grundbegriffe, Verlagsanstalt Benziger & Eintsiedel, Zurich, Koln, hal 33. 64 Ibid. 65 James Madison, dalam “The Federalist Papers”, hal. 308. 66 Carl Scmitt, ibid., hal. 221. 67 Ibid. 68 David Wooton, Liberty, Metaphor and Mechanism Checks and Balances and The Origins of Modern Constitutionalism, davidwooton Dikatakan bahwa istilah tersebut sesungguhnya adalah satu istilah, yang sebelumnya juga telah digunakan oleh Whig John Toland pada tahun 1701. Istilah “balanced and check” dipakai oleh Marcham Nedham tahun 1654. Menurut Wooton, gagasannya adalah bahwa sistem politik secara bermanfaat dapat dibandingkan dengan mesin. Gagasan tentang checks and balances mengandung pikiran bahwa satu konstitusi sebagai satu sistem mekanis, dan hal itu diartikan sebagai satu interest dalam satu mekanisme. Rujukan tentang mesin politik ini, diambil dari edisi John Dryden tentang Plutarch lives, denggang mengatakan “… the Maker of the world had when he had finished and set this great machine moving, and found everything very good and exactly to answer to his great idea”. 69 James Madison, hal. 320‐321. 70 Montesquieu, The Spirit of Laws, translated by Anne M. Kohler Cambridge University Press, 1997, hal 155. 71 David Wootton, hal. 14. 72 Ibid. 73 Lihat catatan kaki nomor 11 supra. 74 Christopher Wolfe, The Rise of Modern Judicial Review, From Constitutional Interpretation to Judge‐ made law, Basic Books, Inc., Publishers/New York, hal 6‐7. Projustice- Jakarta, Gagasan untuk melakukan pembagian kekuasaan di antara organ atau lembaga-lembaga negara pada mulanya di lontarkan oleh John Locke dan Montesquieu. Sebelumnya, di Perancis pada abag ke-XVI, fungsi-fungsi kekuasaan itu dapat dibedakan menjadi 5 (lima), yaitu: (a) fungsi diplomatic; (b) fungsi defencie; (c) fungsi financie; (d) fungsi justice; (e) fungsi policie. Oleh John

Konstitusi Indonesia adalah UUD 1945. Berikut uraian pengertian konstitusi menurut para ahli, tujuan, fungsi, dan penerapan konstitusi dalam mengartikan konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan undang-undang dasar dan sebagainya. Dalam konteks organisasi atau negara, Mahkamah Konstitusi dalam Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi menerangkan bahwa pengertian konstitusi terikat dalam pembentukan atau kelahiran suatu lanjut, arti konstitusi adalah kesepakatan dasar dalam pembentukan organisasi yang mungkin pada awalnya tidak tertulis, namun dituangkan dalam bentuk tertulis atau format khusus lainnya seiring perkembangan merupakan hukum dasar tertinggi dalam suatu negara. Adapun tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaan. Dalam konstitusi, dikenal adanya konstitualisme yang merupakan paham di mana kekuasaan harus dibatasi agar negara dapat dijalankan sesuai dengan tujuan Mahkamah Konstitusi, jika tidak dilakukan pembatasan kekuasaan, konstitusi akan kehilangan rohnya dan hanya akan menjadi legitimasi bagi kekuasaan negara yang tak jugaPolitik Hukum Yudisial, Masalah Kepatuhan Menjalankan Putusan MKPutusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang Tak Laku di Peradilan Mahkamah AgungConstitutional Disobedience Pasal Penghinaan Presiden di RKUHPPengertian Konstitusi Menurut Para AhliMenyoal pengertian konstitusi, M. Solly Lubis menerangkan bahwa istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis constituer yang berarti membentuk’. Istilah membentuk ini dimaknai sebagai pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu Prodjodikoro juga mengemukakan pendapat yang serupa. Menurutnya, pengertian konstitusi yang berarti pembentukan dan yang dibentuk ialah negara bermakna bahwa konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara.

Tidakjauh berbeda dengan fungsi konstitusi, tujuan konstitusi juga berkaitan dengan pembatasan para pejabat negara dalam pelaksanaan pemerintahan yang sedang dijalankan. BACA JUGA: Sabotase adalah Tindakan Perusakan, Ini Ciri-Ciri dan Contohnya Kesan Eko Patrio Terhadap Warkop DKI, Jadi Inspirasi untuk Membuat Lagu 'Ngelaba'

– Konstitusi adalah suatu pedoman atau dokumen yang menjadi dasar penyelenggaraan suatu negara. Namun, tahukah kamu arti penting konstitusi bagi suatu negara? Konstitusi memiliki arti penting bagi suatu negara. Karena, tanpa adanya konstitusi, suatu negara tidak dapat Wilius Kogoya dalam buku Teori dan Ilmu Konstitusi 2015, hal tersebut karena konstitusi membuat suatu peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan negara. Artinya konstitusi menjadi hukum dasar untuk membuat berbagai aturan negara. Sehingga, dapat dikatakan sebagai hukum tertinggi dan juga identitas suatu negara. Baca juga Pengertian Konstitusi Arti penting konstitusi bagi suatu negara adalah menjadi pedoman yang mengatur jalannya pemerintahan, pembatasan kekuasaan, dan menjamin hak asasi manusia agar pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang. Pemerintah tidak bisa bertindak sewenang-wenang karena konstitusi membatasi membagi kekuasaan, mengatur kerja sama antarlembaga pemerintahan, dan menjadi agar semua kebijakan yang dijalankan tetap dilakukan demi kesejahteraan rakyat. Adanya konstitusi, membuat pemerintahan tetap berfokus pada kepentingan rakyat banyak tanpa adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia. Konstitusi menjadi pedoman agar hak–hak warga negara dan hak asasi manusia tidak dilanggar dan terus dijamin oleh pemerintah. Baca juga Arti Sempit dan Luas dari Konstitusi Menurut Yuliandri dalam Konstitusi dan Konstitusionalisme 2018, dalam UUD 194 yang merupakan konstitusi negara Indonesia bahkan dimuat kewajiban negara untuk Melindungi, memajukan, dan menegakan hak asasi manusia. Kewajiban untuk melindungi fakir miskin dan anak telantar. Kewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum melalui pendidikan. Kewajiban lainnya untuk mencapai tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Dengan adanya konstitusi, suatu negara memiliki pedoman yang kuat dan terus relevan seiring dengan berkembangnya zaman. Sehingga, negara bisa terus berjalan sesuai dengan tujuannya yang mengedepankan kesejahteraan rakyat. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

1Sejarah Negara Hukum, Konsep, Ciri dan Contoh Negara Hukum. 1.1 Sejarah Negara Hukum. 1.2 Konsep Negara Hukum. 1.3 Ciri-Ciri Negara Hukum Menurut Ahli. 1.3.1 Kontinental Friedrich Julius Stahl. 1.3.2 Anglo Saxon ada Av Dicey. 1.3.3 International Commission of Jurits. 1.3.4 Motesquieu. 1.3.5 Franz Magnis Suseno. Pembatasan Kekuasaan Berdasarkan Paham Konstitusionalisme di Negara Demokrasi. Maksudnya adalah perlunya pembatasan terhadap bentuk kekuasaan yang ada, batasan itu sudah di amanatkan dalam konstitusi negara tidak terkecuali menurut paham konstitusionalisme. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang bagaimana pembatasan dalam kekuasaan yang dimiliki oleh organ atau lembaga dalam suatu negara hukum dengan menjadikan konsep atau paham konstitusionalisme sebagai tolak ukur. Penelitian ini berusaha mengungkap tiga cabang lembaga pemerintahan yang memiliki kekuasaan di Indonesia, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif maka pembatasan kekuasaan lembaga pemerintah dalam suatu negara tersebut dapat kita lihat melalui dokum, teori-teori hukum, dan peraturan undang-undang yang tertuang dalam konstitusi negara. Dengan cara penelitian tersebut nantinya kita bisa melihat bagaimana bekuasaan yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan tersebut dalam mengaplikasikan kebijakan yang dikeluarkannya sesui dengan nilai konstitusi atau tidak. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 111 PEMBATASAN KEKUASAAN BERDASARKAN PAHAM KONSTITUSIONALISME DI NEGARA DEMOKRASI Oleh Ro’is Alfauzi dan Orien Effendi Mahasiswa Program Magister Ilmu Syari’ah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Email alfauzirois21 orieneffendi3 Abstrak Pembatasan Kekuasaan Berdasarkan Paham Konstitusionalisme di Negara Demokrasi adalah perlunya pembatasan terhadap bentuk kekuasaan yang ada, batasan itu sudah di amanatkan dalam konstitusi negara tidak terkecuali menurut paham konstitusionalisme. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang bagaimana pembatasan dalam kekuasaan yang dimiliki oleh organ atau lembaga dalam suatu negara hukum dengan menjadikan konsep atau paham konstitusionalisme sebagai tolak ukur. Penelitian ini berusaha mengungkap tiga cabang lembaga pemerintahan yang memiliki kekuasaan di Indonesia, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif maka pembatasan kekuasaan lembaga pemerintah dalam suatu negara tersebut dapat kita lihat melalui dokumen, teori-teori hukum, dan peraturan undang-undang yang tertuang dalam konstitusi negara. Dengan cara penelitian tersebut nantinya kita bisa melihat bagaimana kekuasaan yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan tersebut dalam mengaplikasikan kebijakan yang dikeluarkannya sesuai dengan nilai konstitusi atau tidak. Kata Kunci Konstitusionalisme, Demokrasi, Kekuasaan, Negara. A. Pendahuluan Sejarah dunia selalu memperhatikan dan memperlihatkan adanya suatu kelompok yang menjadi cikal bakal lahirnya masyarakat. Sejak awal dalam kesadarannya manusia senantiasa membutuhkan manusia yang lain. Manusia sadar membentuk dan berada dalam komunitas sosialnya agar dapat meresapi keberadaan kehidupan, setelah sejarah panjang kelompok manusia yang semakin membesar dan membuat aturan yang sejak awal telah disusun secara bersama oleh anggota Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 112 komunitas mengalami gerak evolusi dengan tata nilai dan aturan yang kian kompleks. Saat itu masyarakat mengalami sebuah fase persebarannya dengan jejaring sistem pemerintahan yang kian rumit dan menjadi latar belakang terbentuknya negara. Dalam sebuah negara, kelompok-kelompok sosial yang telah ada secara keseluruhan adalah warga negara yang merefleksikan pekerjaan dan pandangan-pandangan politik, kepercayaan-kepercayaan terhadap agama dan gaya hidup mana ada satu kelompok yang meliputi itu semua bernama negara. Setiap negara selalu mempunyai konsep dalam sistem kenegaraannya baik di negara kesatuan mapun negara federal, dalam hal ini mengingat didalam negara terdapat masyarakat yang mempunyai hak kedaulatan dalam menyampaikan aspirasi maka dibutuhkan konsep negara yang menjunjung tinggi opini tersebut yaitu dengan ditetapkannya suatu konsep yang dinamakan demokrasi. Demokrasi mempunyai arti penting bagi lapisan masyarakat yang menggunakannya, sebab demokrasi adalah hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalan hidup organisasi suatu negara. Konsep demokrasi lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum, di yunani kuno telah diipraktekkan dalam kehidupan bernegara dalam abad ke 5 SM hingga abad ke 6 M ketika itu pelaksanaan demokrasi dipraktekan yang bersifat langsung direct democracy, artinya hak rakyat dalam membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sejak dimunculkannya asas demokrasi telah menimbulkan masalah tentang siapakah yang berperan dalam menentukan jalannya negara sebagai organisasi tertinggi negara atau masyarakat, atau sebaliknya masyarakat atau negara. Didalam negara modern terdapat dua karakteristik utama yang digunakan yaitu dianutnya prinsip demokrasi Mansyur Semma, Negara dan Korupsi Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik, Jakarta Yayasan Obor Indonesia, 2008, 2. Moh. Mahfud M. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta PT. Rineka Cipta, 2000, 20. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 113 dan adanya sebuah konstitusi yang menjadi hukum dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua karakteristik tersebut bukannya tidak saling terhubung akan tetapi justru tidak terspisahkan. Konstitusi dapat diartikan sebagai salah satu wujud sekaligus piranti hukum demokrasi. Demokrasi modern dibangun atas prinsip dari sebuah kedaulatan rakyat, yang dapat diartikan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ada ditangan rakyat. Kekuasaan tersebut ditransformasikan dalam organisasi negara melalui teori perjanjian sosial untuk dasar berdiri dan penyelenggaraan negara dan juga disepakati prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara, hak warga negara yang harus dilindungi, serta organisasi penyelenggaraan negara. Didalam demokrasi modern keberadaan negara diasumsikan atas bentukan rakyat dan untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan seluruh rakyat. Kesepakatan bersama seluruh rakyat yaitu diwujudkan dalam bentuk dokumen dasar berdirinya negara demokrasi yaitu konstitusi. Mengingat bahwa kesepakatan yang dibuat adalah oleh seluruh rakyat yang merupakan pemegang kekuasaan tertingi, maka konstitusi pun menjadi hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara the supreme law of the land.Semua konsep dari konstitusi khususnya dalam negara modern yang plural, selalu dimuati oleh nilai-nilai luhur yang bersifat universal parrenial dan hal-hal dasar yang disepakati bersama oleh segenap komponen warga yang bersangkutan meskipun masing-masing mempunyai latarbelakang agama, keyakinan ataupun budaya berbeda-beda, adapun dalam konstitusi terdapat sebuah paham konstitusionalisme. Paham konstitusionalisme telah meletakakkan sebuah dasar pembatasan kekuasaan yang telah dirumuskan dalam konstitusi negara demokrasi. Nilai-nilai fundamental yang telah mendasari pembatasan kekuasaan adalah untuk mencegah terjadinya dominasi kekuasaaan oleh para penyelenggara negara sekaligus dengan bertujuan melindungi harkat dan martabat manusia. Pembatasan Muchamad Ali Syafa’at, Konstitusi dan Demokrasi, Malang Universitas Brawijaya, 2014, 1. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 114 kekuasaan tersebut secara praktis berujung dan bertujuan pada kesejahteraan masyarakat. Menurut Plato penyelenggaraan negara yang baik ialah didasarkan pada pengaturan hukum yang baik, beberapa pemikir besar dalam ketata negaraan semisal John Locke, Montesquieu dan lain sebagainya memiliki keinginan senada bahwa kekuasaan negara harus dibatasi agar tidak berjalan menurut logikannya sendiri. Alternatif pembatasan kekuasaan yang mereka tawarkan ialah dengan pemisahan kekuasaan-kekuasaan yang ada didalam negara agar tidak bertumpuk dalam satu tangan, menurut Montesquieu kemerdekaan individu hanya dapat terjamin kalau kekuasaan raja tidak terpusat di satu tangan tetapi kontruksi sebuah kekuasaan yang dibangun baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif mapun yudikatif dalam sebuah negara dituntut memahami ide dasar dari paham konstitusionalisme tersebut, namun dalam praktik, hal tersebut akan sangat bergantung pada sebuah keinginan dan kesadaran dari kekuatan politik. Para penyelenggara negara juga diharuskan memahami gagasan yang terdapat dalam pasal-pasal konstitusi secara utuh dan tidak secara parsial agar dengan adanya pemahaman tersebut, cara pandang, cara penyelesaian masalah dan cara bertindak seluruh elemen bangsa pada saat sekarang dan kedepan harus merujuk dan berdasar pedoman pada konstitusi, karena paham konstitusionalisme akan tampak dalam sebuah praktik Memahami Konstitusionalisme Istilah konstitusionalisme sebenarnya merupakan sesuatu yang telah lama diperdebatkan dan menjadi pergulatan pemikiran para pendiri bangsa founding fathers pada waktu itu dalam penyusunan dasar-dasar Negara Indonesia merdeka. Setidaknya terdapat tiga mainstream ide yang telah mengemuka ketika itu. Pertama, arus Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet ke 4, Surabaya Pustaka Tinta Mas. 1986, 19. Hamdan Zoelfa, Konstitualisme Indonesia Untuk Pembatasan Kekuasaan diakses dari pada 9 Oktober 2020. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 115 pemikiran yang menghendaki diberlakukannya Islam sebagai dasar negara yang didukung Abikusno Tjokrosujoso, Agus Salim dan Wachid Hasyim. Kedua,arus pemikiran yang menghedaki negara kebangsaan dengan mengacu kepada Negara integralistik yang diprakarsai Prof. Soepomo dan didukung oleh Ir. Soekarno. Ketiga, arus pemikiran yang menghendaki negara konstitusional yang diprakarsai oleh Mohammad Hatta dan Mohammad adalah gagasan bahwasannya pemerintahan itu merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberpa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah dengan cara yang dianggap efektif adalah dengan jalan membagi kekuasaan. Menurut Adnan Buyung Nasution bahwa konstitusionalisme itu bukan sekedar pemerintahan negara yang berkonstitusi melainkan pemerintahan yang kekuasaannya terbatas dibatasi oleh hukum dan bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam hal ini mengingat bahwa sifat kekuasaan tersebut cenderung untuk diselewengkan ataupun disalahgunakan maka dengan cara pembatasan dianggap paling efektif yaitu dengan jalan membagi kekuasaan. Signifikasi pembatasan kekuasaan negara bukan hanya berlaku didalam negara yang menganut paham negara hukum akan tetapi juga di negara yang menganut paham kedaulatan rakyat demokrasi. Dalam konsep negara demokrasi konstitusi memuat wewenang, tanggung jawab, hak dan tugas yang memerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. Secara konseptual, paham konstitusionalisme atau paham pembatasan kekuasaan pemerintah negara pertama kali dikenalkan oleh John Locke dalam Two Treatises of Government. Menurut teori Locke bahwa perlu ada pembatasan kekuasaan pemerintahan negara melalui konstitusi lahir sebagai reaksi dan kesewenangan penguasan yang telah Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme seri Tata Negara, Jakarta Kata Hasta Pustaka, 2007, 39. Benny K. Herman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Cet 1, Jakarta Gramedia, 2013, 18. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 116 mengakibatkan hak-hak dan kebebasan hak asasi warga di injak-injak pada peralihan abad ke 17 dan 18. Untuk mencegah pengalaman pahit tersebut maka diperlukan pembatasan kekuasaan pemerintah dengan konstitusi. Didalam konstitusi ditentukan kelembagaan-kelembagaan negara serta kewenangannya, baik kewenangan negara secara horizontal maupun secara vertikal yaitu yang berkaitan dengan penggunaan wewenang tersebut kepada rakyat. Jadi sesuai dengan azas negara hukum, pada dasarnya dalam setiap penggunaan wewenang harus mempunyai dasar legalitas, sebuah konstitusi yang kompeherensif seharusnya juga menyediakan mekanisme control checks and balances agar setiap penyimpangan dalam penggunaan kewenangan dapat dikembalikan pada posisi normatifnya atau sesuai dengan konstitusi. Dalam hal pembatasan kekuasaan berdasarkan paham konstitusionalisme maka ada tiga ciri negara hukum klasik yaitu 1. Adanya undang-undang dasar sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya. 2. Adanya pembagian kekuasaan yang dapat menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman. 3. Adanya pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah. Ciri-ciri tersebut sudah jelas menghendaki adanya pembatasan atas kekuasaan pemerintah dalam negara yang biasanya pembatasan-pembatasan itu dituangkan dalam konstitusi. Paham konstitusionalisme berupa norma khusus yang fungsinya membatasi kekuasaan dengan prinsip rasional dan negara yang menganut paham tersebut merupakan negara hukum, adapun dengan ciri cirinya yaitu 1. Berlakunya legalitas sebagai standar yang harus diindahkan atau ide-ide afirmatif yang harus dipenuhi, yang prinsip utamanya adalah keadilan. 2. Adanya peradilan yang bebas tidak memihak. 3. Adanya jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi, termasuk penentuan cara prosedural untuk memperoleh hak-hak yang dijamin. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 117 4. Ditegakannya asas-asas universal pemerintahan yang baik good government. Maka dengan adanya prinsip tersebut bahwa prinsip demokrasi baru dapat berkembang sebagaimana mestinya. Menurut Sri Soemantri, sebagaimana yang dikutip oleh Mukhti Fajar, konstitusionalisme memuat aspek prosedural atau formil maupun substansial atau materil dari konstitusi. Aspek prosedural atau formil berkaitan dengan prosedur pembuatan atau prosedur pembuatan konstitusi, serta apakah konsitusi tersebut bersifat supreme atau superior atau bahkan tidak misal kaitan dengan perjanjian internasional.C. Konstitusi Yang Kokoh di Negara Demokrasi Suatu konstitusi adalah berdasar pada suatu kesepakatan umum dari seluruh rakyat atau general aggrement bagi suatu bentuk bangunan suatu negara yang didasarkan atas ideal mayoritas rakyat yaitu mengenai bentuk dan tujuan atau cita-cita bersama, sebuah pemikiran dan mekanisme pembagian kekuasaan yang melandasi pemerintahan dan penyelenggaraan negara, serta mengenal bentuk kelembagaan dan prosedur serta mekanisme pengaturan negara yang dicita-citakan. Didalam konstitusi tidak asing dengan adanya supremasi konstitusi yang tidak lain merupakan tujuan negara, maka ketiga komponen sistem hukum harus dapat berjalan secara serasi, dalam kaitannnya dengan sudah dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar UUD 1945, karena konstitusi atau Undang-Undang Dasar merupakan hukum dasar atau pegangan dalam penyelenggaraan sebuah negara. Pembatasan kekuasaan didalam sebuah negara yang demokratis tentunya juga tidak lepas dari keberadaan sebuah konstitusi yang melandasinya. Lebih jauh Abdul Mukhtie Fadjar mengemukakan dalam bukunya Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi bahwa dasar yang paling tepat dan kokoh bagi sebuah negara demokrasi adalah sebuah negara konstitusional constitutional state yang berasandar pada sebuah konstitusi yang kokoh pula, konstitusi yang kokoh hanyalah konstitusi yang paham konstitusinya atau Nuruddin Hady, Teori Konstitusi dan Negara Demokrasi, Edisi Revisi, Malang Setara Press, 2016, 47-48. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 118 konstitusionalismenya, yaitu yang mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara imbang dan saling mengawasi checks and balances, serta memberikan jaminan yang cukup luas dalam arti penghormatan to respect, perlindungan to protect, dan pemenuhan to fulfill hak warga negara dan hak asasi manusia atau HAM”.Setiap konstitusi menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai salah satu fungsi konstitusionalisme tetapi juga memberikan pengesahan terhadap kekuasaan pemerintahan, disamping itu juga berfungsi sebagai instrument atau agregat untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal rakyat kepada alat-alat kekuasaan negara. Dan konstitusi memiliki kandungan lebih padat dibandingkan dengan UUD, karena konstitusi mengandung unsur legal dan non legal sedangkan UUD hanya mengandung unsur legal, walaupun makna konstitusi seperti itu cenderung diartikan dalam arti konstitusi konvensional dan luas tetapi begitulah konstitusi pada prinsipnya yaitu sebagai peraturan dasar negara yang mengakomodasi segala realitas, nilai dan segala aspek kepentingan dalam negara yang menentukan arah dan tujuan dengan pembahasan mengenai konstitusi di atas, Negara Indonesia sendiri menggunakan konsep berdemokrasi dalam ketentuan konstitusi yang ada. Maka dengan demikian demokrasi adalah bagian dari konstitusi. Demokrasi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah dasar bernegara, di mana dalam berdemokrasi kekuatan rakyat memiliki pengaruh yang sangat besar yang mana mengenai kehidupannya atau dalam menilai kebijakan negara. Sebab kebijakan-kebijakan negara tersebut harus mampu mengakomodir seluruh kepentingan rakyat, karena hakikatnya dalam berdemokrasi yang mana kekuasaan tertinggi berada pada rakyat, dengan demikian maka bukan sesuatu yang tidak mungkin pembatasan atas kekuasaan dalam kebijakan negara berangkat Johanes Suhardja, “Supremasi Konstitusi Adalah Tujuan Negara”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10, No. 3. Pada 3 September 2010, 266. Fais Yonas Bo’a, UUD 1945, MPR dan Keniscayaan Amandemen Terkait Kewenangan Konstitutif MPR dan Kebutuhan Amandemen Kelima UUD 1945, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2018, 49. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 119 dari kepentingan rakyat, begitulah sejatinya nilai konstitusi yang baik dalam sebuah negara yang menganut konsep demokrasi. D. Pembatasan Kekuasaan Menurut Konsep Konstitusionalisme Sudah disebutkan sebelumnya bahwa tujuan bernegara adalah tidak lain untuk mencapai sebuah cita yang ingin diraih, pendapat tersebut dikemukakan oleh Mansyur Semma, 2008;19. Locke juga berpendapat yang mengatakan bahwa negara diciptakan oleh masyarakat maka oleh sebab itu sudah pasti tujuan negara adalah untuk melindungi hak-hak yang dimiliki oleh dengan tujuan sebuah negara maka sudah menjadi suatu kewajiban membahas mengenai kekuasaan yang terdapat dalam negara itu sendiri, baik organ-organ atau lembaga yang ada didalam negara tersebut. Beberapa tokoh memiliki pandangan atau pendapat berbeda dalam mendefinisikan tentang sebuah kekuasaan dalam suatu negara. Sebut saja pendapat yang dikemukakan oleh Foucault yang menurutnya kekuasan itu berada dimana-mana bukan merupakan milik dari pemimpin organisasi tertentu. Sedangkan pendapat lain yang dikemukakan oleh Tan Malaka yang menyebutkan bahwa kekuasaan dalam suatu organisasi atau negara bersifat absolut. Pendapat Tan Malaka yang mengartikan sebuah kekuasaan semacam itu tidak bisa seketika kita menganggapnya keliru atau tidak baik jika kita kaitkan dengan konsep kekuasaan dalam negara demokrasi misalnya di Indonesia. Tan Malaka mengatakan demikian yang di mana ketika negara memiliki kekuasaan penuh dalam mengontrol sampai lapisan bawah, maka kebijakan-kebijakan negara yang mengarah pada pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dapat dirasakan sampai ke lapisan masyarakat paling bawah. Dengan demikian pendapat Tan Malaka tersebut tentang kekuasaan sepintas dapat kita nilai sangat baik. Namun bagaimana kalau kekuasaan negara yang bersifat absolut menurut Tan Malaka tersebut Encik Muhammad Fauzan, Hukum Tata Negara Indonesia, Malang Setara Press. 2017, 69. Muhammad Junaidi, Ilmu Negara Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum, Malang Setara Press. 2016, 62. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 120 digunakan untuk membuat kebijakan yang tidak mendukung kepentingan rakyat, maka pendapat Tan Malaka yang mengartikan kekuasaan semacam itu bisa saja mengarah kepada sesuatu yang tidak baik bahkan negara yang menganut konsep kepemimpinan atau kekuasaan absolut tersebut malah akan mengakibatkan kehancuran jika diterapkan dalam suatu organisasi atau negara. Dengan demikian dapat kita simpulkan dari yang sudah dijelaskan panjang lebar sebelumnya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh Foucault dan Tan Malaka tersebut di atas bisa mengarah pada hal-hal yang baik, namun sebaliknya akan terjadi kekeliruan jika kita mempraktekkan kekuasaan tersebut keluar dari nilai-nilai kepentingan rakyat. Dengan kata lain hal mengenai kekuasaan tersebut memerelukan konsep konstitusionalisme atau pembatasan-pembatasan untuk meminimalisir kemungkinan buruk yang akan terjadi. Masih berkaitan dengan kekuasaan yang di mana terdapat pula pendapat dari Shang Yang, menurutnya tujuan utama membuat negara adalah untuk membentuk Yang mengatakan bahwa kalau kita ingin membuat negara yang kuat dan memiliki kekuasaan penuh maka rakyatnya harus dibuat menjadi lemah, sebaliknya jika kita hendak membuat rakyat menjadi kuat maka harus menjadikan negara itu lemah. ’Aweak people means a strong state and a strong means a weak people therefore a country, wich has the right way, if conserned with weakening the people’’.Dari pendapat Shang Yang ini seakan memberikan jawaban kepada rakyat dalam menentukan sebuah sikap jika ingin mengembalikan kekuasaan tersebut sepenuhnya atas kepentingan rakyat. Dari beberapa pendapat para tokoh di atas dalam mendefinisikan sebuah kekuasaan pada suatu negara dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya mengenai pembatasan terhadap suatu kekuasaan memang diperlukannya pembatasan-pembatasan, baik bagi kekuasaan organ-organ, kelembagaan dan bentuk kekuasaan lainnya dalam sebuah negara demokrasi. Itu semua diperlukan untuk menjadi kontrol checks and balances baik terhadap suatu kebijakan yang ada didalam negara Ibid, hlm, 62-63. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 121 tersebut. Indonesia merupakan negara hukum yang menganut sistem demokrasi, yang mana sebagai negara penganut sistem berdemokrasi sudah barang tentu bangsa Indonesia adalah negara konstitusi constitutional state. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya di atas mengenai konstitusi yang kokoh adalah sebuah negara yang mampu mengatur dan dapat memisahkan atau memberikan batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara imbang dan saling mengawasi checks and balances, serta memberikan hak-hak kepada rakyatnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang menganut konsep negara demokrasi, yang di mana dalam konstitusinya Indonesia membagi menjadi tiga cabang atau bagian pemerintahan yang memiliki kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di mana ketiga cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan tersebut atas dasar hukum dan nilai-nilai konstitusi yang ada di Negara Indonesia, tentunya juga memiliki batas-batas kekuasaan, baik dalam menentukan suatu kebijakan untuk rakyat dan lain sebagainya. Dibawah ini akan dipaparkan mengenai batas-batas kekuasaan yang dimiliki ketiga cabang pemerintahan tersebut menurut paham konstitusionalisme dalam sebuah negara hukum penganut konsep demokrasi seperti halnya Negara Indonesia. 1 Kekuasaan Negara Sebelum membahas ketiga cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan tersebut, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif sedikit kita bahas terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan kekuasaan yang dimiliki oleh suatu negara itu sendiri. Jadi negara adalah sebuah organisasi kekuasaan yang dijalankan menurut sistem pemerintahannya berdasarkan konstitusinya. Di mana konstitusi tersebut sangat menentukan jalannya sebuah organisasi kekuasan yang di mana apakah nantinya berjalan atas dasar kedaulatan tuhan, kedaulatan raja, Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 122 kedaulatan rakyat atau kedaulatan hukum. Indonesia sebagai negara hukum yang di mana kekuasaan negara telah disebutkan atau diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia UUD NRI 1945. Disebutkan disitu bahwa sumber kekuasaan Negara Indonesia adalah berasal dari kedaulatan rakyat. Maka dengan demikian segala kekuasaan Negara Indonesia tersebut berdasarkan kedaulatan rakyat yang dijalankan sesuai perundang-undangan. Jika kita menengok sejarah, berkaitan dengan pemisahan kekuasaan maka dulu sebelum adanya perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar UUD 1945 yang di mana berkaitan dengan kekuasaan bahwa kedaulatan rakyat berada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR. Kedudukannya sebagai lembaga tertinggi membuktikan bahwa MPR memiliki wewenang atau kekuasaan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Setelah terjadi perubahan atas UUD NRI Tahun 1945 kemudian memisahkan kekuasaan negara yang terdiri dari kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Adapun tujuannya adalah untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik dan kekuasaan negara tidak pada satu orang seperti halnya sebelum perubahan UUD NRI yang di mana MPR memiliki kuasa atas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. John Locke mengatakan bahwa kekuasaan untuk membentuk undang-undang dan melaksanakan undang-undang tidak boleh dipegang oleh orang yang sama. Di mana menurutnya jika kedua jenis kekuasaan tersebut dipegang oleh satu orang, satu organ-organ, atau satu lembaga negara maka orang atau lembaga tersebut tidak akan bisa berlaku adil. Sebagai gambaran, Dewan Perwakilan Rakyat DPR memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang untuk dilaksanakan oleh lembaga lain termasuk DPR itu sendiri, dan undang-undang yang telah dibuat DPR tersebut digunakan oleh kekuasaan eksekutif, dan juga yudikatif. Maka dengan demikian disitu terdapat saling mengontrol checks and balances Encik Muhammad Fauzan, Hukum Tata Negara Indonesia, Malang Setara Press. 2017, 68. Ibid, hlm, 69-70. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 123 antara ketiga cabang pemerintah pemilik kekuasaan tersebut. Ini berarti pendapat John Locke di atas sudah diterapkan oleh bangsa Indonesia, di mana tidak ada pembentukan dan pelaksanaan undang-undang dilakukan oleh satu orang atau lembaga. 2 Kekuasaan Organ-organ Negara Sebagamana telah disinggung sebelumnya di atas mengenai batas kekuasaan sebuah negara maupun organ-organ atau lembaga yang ada didalamnya. Indonesia sebagai negara hukum dengan sistem demokrasi konstitusional dan Undang-Undang Dasar menjadi sebuah pijakan hukumnya mempunyai fungsi untuk membatasi kekuasaan ketiga cabang pemerintahan pemilik kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sehingga dengan demikian pelaksanaan atau penyelenggaraan sebuah kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah tidak dilaksanakan secara wewenang-wenang. Maka dengan demikian hak-hak atau kepentingan rakyat dapat dirasakan. Konsep seperti inilah yang dinamakan konstitusionalisme menurut Dahlan Thaib, 2008; 19.Hal ini juga senada dengan pendapat Mahfud MD yang menyebutkan bahwa konstitusionalisme murupakan sebuah gagasan politik tentang bagaimana membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pendapat Mahfud MD ini dapat kita lihat pada Pasal 18B Ayat 2 Undang-Undang Dasar UUD 1945 bahwa secara konstitusi negara mengakui keberadaan masyarakat adat, baik menghormati hak-hak atau hukum adat yang berlaku. Ini berarti negara telah membatasi diri dalam hal kepentingan masyarakat adat, yang di mana meski hukum adat yang berlaku tidak secara eksplisit bahkan tidak tertulis sama sekali dalam peraturan undang-undang namun keberadaan hukum adat tetap diakui oleh hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Muhammad Junaidi, Ilmu Negara Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum, Malang Setara Press. 2016, 98. Ibid, hlm, 99-100. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 124 Kekuasaan eksekutif menurut Wynes adalah melaksanakan undang-undang dan menyelenggarakan urusan pemerintahan agar terciptanya ketertiban, keamanan dan sebagainya. Sedangkan menurut Bagir manan tugas atau wewenang pemerintah dapat dibagi kedalam beberapa golongan, yakni tugas dan wewenang administrasi penyelenggaraan tata usaha negara, administrasi bidang keamanan, administasi bidang pelayanan umum, dan administrasi bidang penyelenggaraan kesejahteraan umum. Kekuasaan eksekutif ini juga disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945 bahwa kekuasaan pemerintah mecangkup bidang administrasi, bidang kehakiman, bidang militer dan bidang diplomatik. Kekuasaan eksekutif ini dipegang oleh presiden dan wakil presiden. Dalam hal kekuasaannya yang paling menonjol dari beberapa bidang kekuasaan pemerintah atau presiden yang sudah dipaparkan di atas adalah bidang penyelenggaraan perundang-undangan atau administrasi tata usaha negara dan bidang kewenangan kehakiman. Melalui kedua bidang kekuasaan presiden inilah yang secara langsung berhadapan atau bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Sebagai gambaran bahwa seorang presiden memiliki hak dalam mengajukan rancangan undang-undang. Setiap rancangan undang-undang tersebut harus mendapat persetujuan DPR. Selain itu presiden juga berhak menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang dan membentuk peraturan presiden. Namun meski demikian kekuasaan yang dimiliki presiden dibatasi oleh kekuasaan legislatif atau dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat DPR, seperti yang disebutkan di atas bahwa kekuasaan presiden dalam menetapkan peraturan pemerintah, peraturan presiden dan lain sebagainya harus mendapatkan persetujuan DPR, maka dalam hal itu apapun kebijakan yang akan dikeluarkan oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif terdapat batasan kekuasaan. Encik Muhammad Fauzan, Hukum Tata Negara Indonesia, Malang Setara Press. 2017, 80. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 125 Selain itu dalam bidang kewenangan kehakiman, yang di mana seorang presiden memiliki kekuasaan dapat mengeluarkan grasi atau hak seorang presiden memberikan pengurangan hukuman, kemudian dapat megeluarkan keputusan rehabilitasi, amnesti, dan abolisi. Di mana dalam beberapa kekuasaan kewenangan dalam bidang kehakiman ini seorang presiden memiliki hak sepenuhnya tanpa campur tangan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan presiden dalam bidang kehakiman ini disebut sebagai hak prerogatif, menurut Thomas Jefferson hak prerogatif tersebut merupakan perintah sebuah konstitusi negara yang diberikan kepada presiden. Di mana di Indonesia sendiri sebelum amandemen UUD 1945 disebutkan bahwa hak prerogatif presiden tersebut adalah hak absolut seorang presiden tanpa campur tangan siapapun. Sebagai gambaran bahwa ketika presiden mengeluarkan keputusan memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi yang di mana keputusannya itu merupakan hak prerogatif seorang presiden. Contoh dalam undang-undang tentang pemberian grasi menyebutkan bahwa pemberian grasi tersebut bukan merupakan campur tangan bidang yudikatif atau kewenangan kehakiman melainkan hak prerogatif presiden dalam memberikan pengampunan. Akan tetapi meskipun dalam undang-undang disebutkan bahwa pemberian grasi oleh presiden tersebut tanpa campur tangan bidang yudikatif namun tetap saja harus melihat pertimbangan Mahkamah Agung. Maka kesimpulannya adalah kekuasaan eksekutif atau kekuasaan presiden terdapat pembatasan kekuasaan, seperti yang sebelumnya disebutkan di atas ketika seorang presiden akan mengeluarkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden dan lain sebagainya harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat DPR, begitu juga ketika berkaitan dengan kewenangan presiden dalam bidang kekuasaan kehakiman, di mana seorang presiden dalam menggunakan hak prerogatifnya tentu harus melihat pertimbangan DPR dan Mahkamah Agung. Itu berarti jika kita melihat konsep konstitusionalisme dalam hal kekuasaan eksekutif maka sudah terpenuhi terhadap konteks adanya saling Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 126 kontrol atau checks and balances yang di mana kepentingan rakyat terwakili melaui DPR ketika pemerintah ingin mengeluarkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Organ kekuasaan pemerintah selanjutnya adalah berada pada kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembuat undang-undang. Yang masuk dalam kekuasaan legislatif ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat DPR, menurut Jimly Asshiddiqie DPR memiliki tiga fungsi yakni fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Menurutnya secara lebih luas fungsi lembaga perwakilan rakyat tersebut adalah fungsi pengaturan, fungsi pengawasan dan fungsi perwakilan. Melihat fungsi secara umunya DPR merupakan perwakilan rakyat,yang mana jika kita kaitkan dengan konsep konstitusionalisme maka sudah seharusnya lembaga perwakilan rakyat tersebut mengutamakan kepentingan rakyat sesuai dengan dasar negara hukum konstitusi bahwa kedaulatan berada pada tangan rakyat. Dengan demikian jika melihat dari fungsi pengaturan dan perwakilan dapat kita interpretasikan bahwa dalam tugas membuat undang-undang maka sudah seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat DPR tersebut harus melihat kepentingan rakyat dalam setiap peraturan perundang-undangan yang mereka buat. Begitulah amanat konstitusi yang seharusnya. Namun faktanya tidak sedikit undang-undang yang disahkan oleh DPR berujung penolakan dari kalangan masyarakat umum, para aktivis, mahasiswa dan lain sebagainya. Baru-baru ini pada 5 Oktober 2020 DPR mengesahkan peraturan perundang-undangan Omnibus Law yang di mana didalamnya yang paling banyak dipermasalahkan oleh masyarakat adalah tentang peraturan cipta lapangan kerja yang di mana dinilai tidak mendukung kepentingan rakyat. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta 2007, 154. Ibid, hlm, 160. Fajar Pebrianto,’Gelombang Penolakan Omnibus Law’’, dalam diakses tanggal 11 Oktober 2020, Pukul Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 127 Bukan hanya itu, bahwa tidak sedikit pemberintaan atau kejadian pada masa-masa lampau tentang penolakan kebijakan yang dibuat oleh lembaga legislatif tersebut karena lagi-lagi dalam peraturan undang-undang yang dibuat dianggap tidak memngutamakan kepentingan rakyat, itu berarti nilai kedaulatan berada di tangan rakyat sudah diabaikan padahal itu merupakan amanat konstitusi. Namun dibalik itu semua, rakyat masih memiliki harapan berdasarkan konsep konstitusional yang ada, sebut saja peraturan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa DPR bersama presiden diberikan waktu selama 30 hari untuk menyetujui undang-undang yang sebelumnya disahkan di lembaga legislatif. Ini berarti secara konstitusi presiden memiliki kekuasaan dapat menolak undang-undang yang dibuat tersebut dengan tidak meneken lalu kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu. Namun cara ini menurut para pakar Hukum Tata Negara memang tidaklah semudah yang dibayangkan jika presiden menolak undang-undang yang sebelumnya dibuat oleh lembaga legislatif tersebut. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa peraturan pemerintah, peraturan presiden dan kekuasaan lainnya yang dimilki presiden harus melalui persetujuan DPR. Itu berarti sekalipun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu yang dikeluarkan oleh presiden untuk menolak undang-undang yang dibuat DPR kemungkinannya sangat kecil untuk disetujui, atau meskipun akan disetuji perubahan dalam poin-poin peraturan tersebut tidak akan terlalu besar dari poin undang-undang sebelumnya. Lalu menurut konstitusi lainnya bahwa jika cara tersebut di atas tidak berhasil, maka langkah selanjutnya bagi masyarakat untuk memperjuangkan haknya biasa memalui uji matari ke Mahkamah Konstitusi MK terhadap undang-undang yang tadinya dibuat oleh DPR yang dinilai tidak mendukung rakyat. Maka dalam hal ini dapat kita simpulkan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh legilatif juga sama halnya dengan kekuasaan yang dimiliki eksekutif, sama-sama dibatasi oleh konstitusi yang ada di negara Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 128 tersebut. Seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa peraturan undang-undang yang dibuat oleh DPR tersebut bisa saja mendapat penolakan dari presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, atau bisa saja akan tertolak sepenuhnya ketika uji materi terhadap undang-undang tersebut di Mahkamah Konstitusi MK sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Maka dengan demikian secara konstitusi ataupun jika merujuk pada konsep atau paham konstitusionalisme seperti yang disebut sebelumnya maka checks and balances atau kontrol terhadap kebijakan legislatif ini juga tetap ada, dengan kata lain terdapat pembatasan kekuasaan. Lalu kemudian selajutnya adalah cabang kekuasaan pemerintah bidang yudikatif. Kekuasaan yudikatif ini dipegang oleh Mahkamah Agung MA, Mahkamah Konstitusi MK, dan Komisi Yudisial KY, perlu diketahui KY memang tidak melaksanakan tugas peradilan namun tetap berperan dalam bidang kekuasaan kehakiman Pasal 24B UUD NRI 1945. Di mana secara umum kekuasaan yudikatif ini berfungsi sebagai pemberi hukuman atau sanksi terhadap adanya suatu pelanggaran dari ketentuan undang-undang. Di Indonesia yudikatif ini dikenal sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman, yang di mana secara umum kekuasaan kehakiman ini dapat kita pahami sebagai suatu kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dengan tujuan terselenggaranya penegakan hukum demi tercapainya keadilan. K. Wantjik Saleh mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman itu terpisah dari campur tangan kekuasaan pemerintah atau eksekutif dan kekuasaan perundang-undangan atau legislatif dan juga merdeka dari pengaruh kedua kekuasaan mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut melekat pada hakim maupun lembaga kehakiman yang bersumber dari konstitusi dalam mengadili dan memberikan suatu putusan. Bagir manan juga megatakan bahwa yang Encik Muhammad Fauzan, Hukum Tata Negara Indonesia, Malang Setara Press. 2017, 102. Ibid, hlm, Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 129 dimaksud kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut adalah tidak ada campur tangan baik pihak eksekutif dan legislatif dan pihak manapun ketika kekuasaan kehakiman dalam memutus suatu perkara. Jadi dapat kita pahami bahwa kekuasaan yang merdeka yang sebelumnya didefinisikan untuk memaknai kekuasaan kehakiman tersebut bukan merdeka atau bebas sebebasnya, namun dalam ranah ketentuan mengadili, memberi putusan, dan lain sebagainya yang tentunya tidak keluar dari konteks atau amanat konstitusi yang ada. Ini berarti jika kita menelaah pendapat Rimdan di atas maka kekuasaan kehakiman atau lembaga kehakiman tersebut harus berdasarkan peraturan konstitusi yang ada, dengan kata lain ada pembatasan kekuasaan yang merdeka tersebut oleh konstitusi dengan tujuan agar kekuasaan kehakiman tersebut tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan kekuasaan yang merdeka itu. Dapat kita simpulkan bahwa kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman ini sedikit berbeda dengan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif yang secara langsung memiliki hubungan timbal balik terkait kekuasaannya. Seperti kekuasaan eksekutif misalnya dalam mengeluarkan kebijakan maka harus mendapat persetujuan lembaga legislatif, begitu sebaliknya di mana ketika legislatif mengeluarkan peraturan undang-undang maka kekuasaan eksekutif dapat mengontrol dengan sikap mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu sebagai penolakan jika peraturan tersebut dinilai tidak mementingkan rakyat. Sedangkan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan peran kekuasaan yang sebelumnya dimaknai sebagai suatu kekuasaan yang merdeka langsung di kontrol oleh konstitusi yang ada, meski memang pada dasarnya ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tersebut berasal dari negara atau dalam hal ini ketentuan pengaturan dalam konstitusi tersebut pada dasarnya lahir dari eksekutif dan legislatif yang berupa undang-undang sebagai legalitasnya. Jadi dapat kita pahami bahwa letak perbedaan kekuasaan yudikatif ini adalah tidak secara langsung dapat di kontrol oleh Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 130 kekuasaaan eksekutif dan legislatif, atau dengan kata lain, batasan kekuasaan yudkatif ini adalah berada pada ketentuan konstitusi atau batasan yang didapat langsung dari internal kekuasaan yudikatif itu sendiri, seperti halnya pengawasan dari KY dalam menjaga warwah hakim baik dari proses seleksi dan sebagainya. Meski memang pada dasarnya akan tetap melibatkan persetujuan legislatif atau eksekutif misalnya dalam menentukan hakim agung dan lainnya. Lantas timbul pertanyaan, dimana letak perbedaan atau ketidak terkaitan kekuasaan yudikatif tersebut dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Maka untuk menjawabnya adalah dengan melihat pada kekuasaan yudikatif yang tereletak pada kekuasaannya yang bersifat merdeka dalam menentukan suatu putusan pada ranah peradilan tanpa campur tangan dan pengaruh pihak manapun termasuk eksekutif dan legislatif, yang di mana hanya produk hukum dari kekuasaan eksekutif atau kekuasaan legislatif yang sudah tertuang dalam undang-undang atau masuk sebagai ketentuan konstitusi yang dapat membatasi kekuasaan tersebut. Selain itu sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kekuasaan kehakiman ini yang dapat diawasi oleh pihak internal seperti Komisi Yudisial KY juga dapat melibatkan masyarakat, di mana keberadaan KY selama ini telah memfasilitasi masyarakat dalam membuat permohonan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam sebuah persidangan. Maka dengan kata lain kekuasaan yudikatif ini juga memiliki batasan yang nyatanya lebih luas dari pembatasan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Karena seperti yang sudah dipaparkan, pembatasan kekuasaan tersebut datangnya dari amanat kosntitusi dalam bentuk undang-undang, batasan kekuasaan yang langsung diawasi pihak internal, dan tentunya batasan yang secara tidak langsung juga datang dari rakyat. Maka dalam hal ini jika lagi-lagi kita kaitkan dengan konsep atau paham konstitusionalisme maka kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif tersebut mempunyai batasannya masing-masing. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sejauh ini asas kedaulatan masih berada pada tangan rakyat jika kita melihat secara regulasi Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 131 yang ada atau pengaturan yang tertuang dalam undang-undang dan lain sebagainya. Terlepas terlaksananya atau tidak maka hanya fakta dan peristiwa dilapangan yang dapat menjawab itu semua. E. Kesimpulan Paham konstitusioalisme mempunyai norma khusus yang salah satu fungsinya yaitu memberikan batasan kekuasaan dengan prinsip rasional dan negara yang menganut paham ini adalah negara hukum yang menggunakan konsep di mana negara demokrasi membutuhkan sebuah konstitusi yang bersifat kokoh yaitu konstitusi yang paham terhadap konstitusinya, secara rinci mengatur batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Maka dengan demikian pembatasan kekuasaan didalam negara demokrasi secara konstitusi memang sangat diperlukan, baik didalam kekuasaan organ-organ kelembagaan dan bentuk kekuasaan lainnya dalam sebuah negara, itu semua diperlukan untuk menjadi kontrol checks and balances serta dapat menuju sebuah asas pemerintahan yang baik good government agar tidak terjadi tumpang tindih dan sewenang-wenang dalam melaksanakan kekuasaan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Ali Syafa’at, Muchamad, Konstitusi dan Demokrasi, Malang Universitas Brawijaya, 2014. Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, JakartaBhuana Ilmu Populer 2007. Bo’a, Fais Yonas, UUD 1945, MPR dan Keniscayaan Amandemen Terkait Kewenangan Konstitutif MPR dan Kebutuhan Amandemen Kelima UUD 1945, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2018. Fauzan, Encik Muhammad, Hukum Tata Negara Indonesia, Malang Setara Press. 2017. Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 132 Hady, Nuruddin, Teori Konstitusi dan Negara Demokrasi, Edisi Revisi, Malang Setara Press, 2016. Junaidi, Muhammad, Ilmu Negara Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum, Malang Setara Press. 2016. K. Hirman, Benny, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Cet 1, Jakarta Gramedia, 2013. Mahfud M. Moh..Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta PT. Rineka Cipta, 2000. Nasution, Adnan Buyung, Arus Pemikiran Konstitusionalisme seri Tata Negara, Jakarta Kata Hasta Pustaka, 2007. Pebrianto, Fajar,’Gelombang Penolakan Omnibus Law’’, dalam diakses tanggal 11 Oktober 2020, Pukul Semma, Mansyur, Negara dan Korupsi Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik, Jakarta Yayasan Obor Indonesia, 2008. Suhardja, Johanes, “Supremasi Konstitusi Adalah Tujuan Negara”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10, No. 3. Pada 3 September 2010. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5234. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Politica, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2020 133 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5076. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet ke 4, Surabaya Pustaka Tinta Mas. 1986. Zoelfa, Hamdan, Konstitualisme Indonesia Untuk Pembatasan Kekuasaan diakses dari pada 9 Oktober 2020. ... Salah satu kekuasaan yang dimaksud oleh kedua filsuf tersebut adalah kekuasaan eksekutif yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan UUD NRI 1945 Kekuasaan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan memang tampak sangat luas dan tidak dijelaskan maupun dibatasi dalam UUD NRI 1945, bahkan semua lembaga Negara lainnya seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR, Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Perwakilan daerah DPD, Mahkamah Agung MA, Mahkamah Konstitusi MK, Badan Pemeriksa Keuangan BPK telah memiliki undang-undang dasar tersendiri yang menjelaskan kedudukan maupun kewenangan serta fungsi masing-masing lembaga negara tersebut, kecuali UUD NRI 1945 tentang lembaga kepresidenan Alfauzi & Effendi, 2020. Padahal dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, kedudukan Presiden adalah sama dengan kedudukan lembaga-lembaga negara lainnya sperti MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK dan sebagainya. ...Novita SariHardian IskandarPenelitian ini bertujuan untuk menganalisa urgensi pembuktian terhadap tuduhan DPR di Mahkamah Konstitusi dan penerapan putusan MK tentang pembuktian pelanggaran hukum oleh presiden. Penelitian ini menggunakan jenis jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang statute approach dan pendekatan konseptual conceptual approach. Hasil penelitian menunjukan bahwa keperluan pembuktian dakwaan Dewan Perwakilan Rakyat DPR di Mahkamah Konstitusi MK untuk memperjelas apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar undang-undang atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, atau perbuatan tercela. Apabila terbukti adanya pelanggaran hukum oleh Presiden maka Pelaksanaan putusan MK tidak berujung pada pemakzulan/pemberhentian presiden. Namun, putusan MK itu bergantung pada sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR. Sehingga, putusan MK yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat itu tidak serta merta memberhentikan presiden, tetapi semuanya tergantung pada rapat paripurna yang diselenggarakan oleh Agritama S W MadjidMuh. Ilham AkbarUpaya untuk meneguhkan prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan negara di dalam UUD 1945 mengalami dinamika yang begitu 101problem. Tujuan dari konstitusi untuk membatasi kekuasaan negara cenderung disalahgunakan dan jauh menyimpang dari tujuan keberadaan konstitusi. Sadar akan berbagai kelemahan yang terdapat dalam rumusan UUD 1945 sebelum amandemen, pada tahun 1999 MPR mulai melakukan amandemen terhadap UUD hingga tahun 2002 sebanyak 4 kali. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana perwujudan dari paham konstitusionalisme dari hasil amandemen UUD 1945 serta berbagai wacana amandemen UUD 1945 dalam beberapa waktu belakangan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu yuridis normatif dengan pendekatan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar prinsip konstitusionalisme sudah tertuang dalam UUD 1945 hasil amandemen, namun belum sepenuhnya sempurna. Sedangkan, wacana amandemen konstitusi yang mengemuka di publik belakangan ini secara seimbang mengarah pada penguatan dan pelemahan prinsip AsmawiAbu ThamrinHidayatulloh HidayatullohThis study focuses on how maqâshid al-syarî`ah sharia objectives correlates with the reformulation of Pancasila constitutional state concept. Specifically, it aims at proving and explaining the relevance of maqâshid al-syarî`ah with the reformulation of Pancasila constitutional state concept. This study uses a qualitative research method that is based on theoretical-philosophical approach. Data were collected using documentary study techniques and were analyzed using qualitative content analysis techniques. The findings of this study indicate that the concept of Pancasila constitutional state has certain characteristics of constitutional state. The values and doctrines embedded in Pancasila are the state fundamental principles of Indonesia as well as the basic ideology of the state. In Islamic law perspective, the concept of Pancasila constitutional state has its substantial basis in maqâshid al-syarî`ah. This study proves that the concept of Pancasila constitutional state is theoretically valid and substantively connected to maqâshid al-syarî`ah, which includes justice al-adl, affection al-raḥmah, public interest al-mashlaḥah, wisdom al-ḥikmah, and the five objectives al- maqâshid al-khamsah. Penelitian ini berfokus pada bagaimanakah relevansi maqâshid al-syarî`ah dengan reformulasi konsep Negara Hukum Pancasila. Penelitian ini bertujuan membuktikan dan menjelaskan relevansi maqâshid al-syarî`ah dengan reformulasi konsep Negara Hukum Pancasila. Dalam penelitian ini diterapkan metode riset kualitatif berbasis pendekatan teoritis-filosofis, yang dalam pengumpulan datanya menggunakan tehnik studi dokumenter; dan data dianalisis dengan tehnik analisis isi secara kualitatif qualitative content analysis. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa konsep Negara Hukum Pancasila memiliki ciri dan karakteristik Negara Hukum plus nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia; dan dari perspektif hukum Islam, konsep Negara Hukum Pancasila punya basis substantif maqâshid al-syarî`ah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep Negara Hukum Pancasila terbukti valid dan otentik menurut sudut pandang teori maqâshid al-syarî`ah dan substansi maqâshid al-syarî`ah, yang meliputi al-adl, al-raḥmah, al-mashlaḥah, al-ḥikmah, dan al- maqâshid SuhardjanaContitution or Fundamental norms is the supreme law governing the operation of the working rules of the state as an organization, so that the constitution would give the direction and under the laws and regulation. In the constitution there must be an effective system, regularly to the mechanism or the operations of the government and the main of the constitutions is the existence of restriction of the authority and respect for the human rights, because human rights is human nature that possesses from constitution, restriction, human rightsK HirmanMempertimbangkan BennyMahkamah KonstitusiK. Hirman, Benny, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Cet 1, Jakarta Gramedia, Pemikiran Konstitusionalisme seri Tata NegaraAdnan NasutionBuyungNasution, Adnan Buyung, Arus Pemikiran Konstitusionalisme seri Tata Negara, Jakarta Kata Hasta Pustaka, Penolakan Omnibus LawFajar PebriantoPebrianto, Fajar,''Gelombang Penolakan Omnibus Law'', dalam diakses tanggal 11 Oktober 2020, Pukul Indonesia Untuk Pembatasan Kekuasaan diakses dariHamdan ZoelfaZoelfa, Hamdan, Konstitualisme Indonesia Untuk Pembatasan Kekuasaan diakses dari pada 9 Oktober 2020. BkH8RB.
  • yo480k3cp7.pages.dev/247
  • yo480k3cp7.pages.dev/170
  • yo480k3cp7.pages.dev/154
  • yo480k3cp7.pages.dev/362
  • yo480k3cp7.pages.dev/160
  • yo480k3cp7.pages.dev/570
  • yo480k3cp7.pages.dev/473
  • yo480k3cp7.pages.dev/442
  • ciri ciri umum konstitusi adalah adanya pembatasan kekuasaan bagi para